Tapi Ria tidak jadi bicara. Kata "sayang" menggantung di kerongkongan. Terlalu berat untuk keluar, tapi terlalu menyakitkan untuk terus dipendam.
Akhirnya, ia hanya berkata, "Gue di sini. Gak ke mana-mana."
Dan Ethan tersenyum. Lelah.
"Gue seneng... lu pernah jadi bagian dari waktu gue."
Lalu matanya terpejam lagi.
Dan dalam diamnya, Ria tahu... mungkin itulah ucapan selamat tinggal paling halus yang pernah ia terima.
Beberapa bulan kemudian.
Ethan pergi. Di hari hujan.
Tidak banyak orang di pemakamannya. Ria berdiri paling belakang, memeluk lengan bajunya sendiri. Tak ada air mata yang jatuh hari itu. Hanya angin dingin, dan dada yang terasa kosong.
Natalie dan Nami menemani. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani menyentuh bahunya. Seolah tahu, luka yang seperti ini... tidak bisa dibagi.
Setelah semua selesai, Ria berjalan ke ruang kerjanya di kantor. Meja Ethan sudah kosong. Tapi ada satu hal yang tertinggal... sebuah buku gambar berwarna hitam, dengan sticky note kecil di halaman pertama:
"Untuk Ria.
Jangan berhenti gambar. Karena lu ngisi warna di hidup gue, waktu gue udah gak bisa ngelihat terang lagi."