Hari demi hari berjalan seperti sisa-sisa waktu yang ingin dipeluk erat, tapi terus terlepas.
Ria tahu Ethan sedang bertarung. Tapi dia juga tahu, itu pertarungan yang sunyi. Ethan tidak banyak bicara lagi. Senyumnya makin jarang. Tatapannya mulai kosong, meski terkadang masih ada cahaya kecil yang menyala jika melihat Ria datang membawa dua kopi dan senyum yang ia paksa tiap pagi.
Di kantor, mereka seperti orbit yang terus saling mendekat, tapi tak pernah bertabrakan. Tidak pacaran, tidak jadian, tidak saling bilang "sayang". Tapi semua orang tahu. Termasuk mereka berdua.
Di ruang rapat kosong, Ethan pernah berkata pelan, "Lu inget nggak, waktu SMA kita pernah kerja kelompok bareng, dan gue selalu ngilang?"
Ria tertawa lirih. "Inget. Gue sebel banget waktu itu."
Ethan tersenyum kecil. "Maaf ya... gue bahkan waktu itu udah tahu, gue nggak bisa kasih siapa-siapa alasan buat bertahan sama gue."
Ria menatap matanya dalam-dalam. "Tapi sekarang gue nggak pergi."
"Lu belum pergi," jawab Ethan. "Tapi gue yang mungkin bakal pergi duluan."
Dan kalimat itu... tidak pernah benar-benar pergi dari kepala Ria.
Beberapa minggu kemudian.