Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ada Apa dengan Bendera "One Piece"? Atau Kita Harus Diam

3 Agustus 2025   13:15 Diperbarui: 3 Agustus 2025   20:33 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bendera One Piece (Sumber: Wikimedia Commons via KOMPAS.com)

Di tengah keriuhan pemblokiran puluhan juta rekening bank milik masyarakat oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dan pemberian Abolisi terhadap Tom Lembong serta Amnesti kepada Hasto Kristyanto oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Tiba-tiba saja, "coming from behind" menyeruak isu bendera One Piece memenuhi ruang-ruang di media sosial. Jujur saja, entah lantaran saya out of date atau karena bukan penggemar Serial Manga "One Piece," saya awalnya tak begitu paham isu ini.

Usut punya usut, ternyata di berbagai platform medsos muncul seruan entah darimana untuk mengibarkan bendera bajak laut dari anime dan manga One Piece saat perayaan HUT RI ke-80 pada 17 Agustus nanti, sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah saat ini.

Pemerintah dan sejumlah anggota parlemen mengecam seruan mengibarkan bendera tersebut, menyebutnya sebagai tindakan provokatif dan bisa memecah belah bangsa, bahkan menudingnya sebagai perbuatan makar. 

Bendera fiktif itu berlatar hitam dengan tengkorak dan dua tulang yang menyilang di belakangnya. Tengkorak berwarna putih dengan ekspresi tersenyum itu berhias topi jerami kuning khas tokoh utama One Piece, Monkey D. Luffy. 

Saya sendiri, dalam beraktivitas harian tak pernah melihat bendera yang dikenal dengan nama Jolly Roger dan sejatinya memiliki banyak jenis dan varian lantaran dunia fiksi One Piece memiliki banyak kelompok bajak laut, berkibar di sepanjang jalan yang saya lalui setiap hari.

Ketika Simbol Budaya Populer Menjadi Alat Kritik

Mengutip onepiece.fandom.com, Bendera Jelly Roger tak hanya menjadi simbol kekuatan, tapi juga disebut menyuarakan kebebasan, keyakinan pribadi, dan persahabatan.

Penggunaan simbol atau idiom budaya populer, atau bahkan simbol yang sejatinya netral seperti Jelly Rogers sebagai ekspresi kekecewaan dan protes sosial telah berlangsung sejak lama, baik di Indonesia maupun di luar negeri. 

Di Thailand misalnya, kala itu mereboot makna salam tiga jari dalam film The Hunger Games. Para aktivis Thailand berhasil mengadaptasi dan mengisi ulang makna simbol tersebut menjadi representasi dari kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. 

Tiga jari ini menjadi semacam manifestasi visual dari tuntutan mereka yang lebih luas terhadap monarki dan militer. 

Kemudian, ada pula penggunaan gambar "buah semangka." Setelah Israel melarang pengibaran bendera Palestina yang menggunakan warna merah, hijau, hitam, dan putih pada tahun 1967, para seniman Palestina dengan cerdik menemukan solusi. Mereka menggunakan semangka yang memiliki kombinasi warna serupa sebagai penggantinya. 

Secara teoritis, fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa kerangka sosiologis dan politik. Simbol berfungsi sebagai alat mobilisasi massa dan pembentuk identitas kolektif dalam sebuah gerakan sosial. 

Kerangka ini, yang banyak dikaji oleh para sosiolog seperti Sidney Tarrow dalam karyanya tentang gerakan sosial, menjelaskan bagaimana sebuah bendera yang sederhana dan mudah dikenali dapat menyatukan banyak orang di bawah satu tujuan, membingkai isu-isu rumit menjadi satu pesan perlawanan yang mudah dipahami.

Simbol-simbol ini juga merupakan pesan non-verbal yang sangat ampuh, memanfaatkan budaya populer sebagai arena baru untuk politik. 

Fenomena ini sejalan dengan gagasan komunikasi politik yang modern, di mana media dan budaya populer menjadi sumber simbol yang siap digunakan untuk tujuan politik. 

Bendera One Piece atau salam tiga jari dari film Hunger Games adalah bukti bahwa politik tidak hanya terjadi di parlemen, tetapi juga di media sosial.

Lebih dalam lagi, fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan tak bersuara atau senjata kaum lemah (weapons of the weak), sebuah konsep yang diperkenalkan oleh antropolog James C. Scott. 

Ini adalah bentuk protes yang dilakukan secara halus dan tidak terang-terangan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kekuasaan. 

Menggunakan simbol dari budaya populer adalah cara cerdas untuk menyampaikan pesan tanpa melanggar hukum secara eksplisit.

Kritik Bukan Anti-Nasionalisme

Jadi, dalam perspektif saya, cara merespon isu one piece seperti yang dilakukan Pemerintah termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menganggapnya sebagai bentuk provokasi dan merongrong kewibawaan bendera merah putih, berlebihan alias lebay dan kurang kerjaan.

Kita kan hidup di alam demokrasi, perbedaan pendapat dan kritik adalah hal yang wajar. Jika saluran kritik dibiarkan terbuka, meskipun dalam bentuk simbolik atau halus, itu menunjukkan bahwa demokrasi berfungsi. 

Jika pemerintah atau pihak berwenang merespons dengan panik atau menuduh kesana kemari, itu justru menunjukkan kelemahan. Membiarkan ekspresi seperti ini muncul dan menyikapinya secara biasa saja adalah tanda dari demokrasi yang sehat dan stabil. 

Ini adalah bentuk ekspresi sosial yang beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di era digital dan kemajuan global, simbol-simbol dari budaya pop menjadi bahasa universal yang dipahami luas, terutama oleh generasi muda. 

Penggunaan simbol ini jauh lebih canggih dan damai dibandingkan dengan kekerasan atau pemberontakan yang "katrok."

Yang paling penting, bahwa kritik yang disimbolkan ini bukanlah wujud anti-nasionalisme. Sebaliknya, itu adalah ekspresi dari kepedulian. 

Ketika masyarakat mengkritik pemerintah, seringkali itu didorong oleh harapan agar negara bisa menjadi lebih baik dan bermartabat.

Simbol "one piece' ini bukanlah masalah, melainkan gejala dari masalah yang lebih dalam. Mengabaikan atau menindaknya justru akan membuat masalah yang sebenarnya tidak tersentuh.

Lagipula, ada ketentuan hukum yang jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, diatur secara spesifik tentang penggunaan Bendera Negara. Pasal 17 dan Pasal 21 dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa Bendera Negara tidak boleh dipasang lebih rendah atau lebih kecil dari bendera lain, termasuk bendera organisasi atau simbol non-negara.

Aturan ini secara tersirat memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengibarkan bendera non-negara, selama aturan tata letak dan hierarki dihormati. 

Selama bendera fiktif ini dikibarkan di bawah dan berukuran lebih kecil dari Bendera Merah Putih, tidak ada undang-undang yang dilanggar. 

Ini menunjukkan bahwa protes yang dilakukan adalah protes yang cerdas, yang beroperasi di dalam batas-batas hukum, bukan bentuk perlawanan yang anarkis.

Atau kita rakyat Indonesia harus diam saja?

Makna di Balik Keheningan 

Oke kalau memang maunya begitu, tapi asal tahu saja dalam konteks politik maupun hubungan antar personal, pesan yang paling memekakkan terkadang justru lahir dari keheningan total. 

Ingat, ungkapan "diam seribu bahasa" atau silence speaks a thousand words jangan disalahartikan menjadi sekadar ketiadaan suara. 

Keheningan juga bisa menjadi alat kontrol dan agresi pasif, seperti yang terlihat dalam silent treatment. Dalam konteks ini, ketika rakyat memilih diam, itu bisa menjadi sinyal bahwa mereka menyimpan begitu banyak kekecewaan sehingga tidak ada kata-kata yang mampu mewakilinya. 

Keheningan ini jauh lebih mengancam kekuasaan daripada teriakan, karena ia menandakan hilangnya legitimasi di mata rakyat.

Pada akhirnya, merespons fenomena seperti bendera One Piece dengan panik adalah tindakan yang sia-sia. Lebih baik bagi pemerintah untuk membaca pesan yang disampaikan, mendengarkan kritik di baliknya, dan berfokus pada perbaikan. 

Sebab, demokrasi yang sehat tidak takut pada kritik, justru tumbuh dan menjadi lebih kuat karena adanya kritik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun