Jika pemerintah atau pihak berwenang merespons dengan panik atau menuduh kesana kemari, itu justru menunjukkan kelemahan. Membiarkan ekspresi seperti ini muncul dan menyikapinya secara biasa saja adalah tanda dari demokrasi yang sehat dan stabil.Â
Ini adalah bentuk ekspresi sosial yang beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di era digital dan kemajuan global, simbol-simbol dari budaya pop menjadi bahasa universal yang dipahami luas, terutama oleh generasi muda.Â
Penggunaan simbol ini jauh lebih canggih dan damai dibandingkan dengan kekerasan atau pemberontakan yang "katrok."
Yang paling penting, bahwa kritik yang disimbolkan ini bukanlah wujud anti-nasionalisme. Sebaliknya, itu adalah ekspresi dari kepedulian.Â
Ketika masyarakat mengkritik pemerintah, seringkali itu didorong oleh harapan agar negara bisa menjadi lebih baik dan bermartabat.
Simbol "one piece' ini bukanlah masalah, melainkan gejala dari masalah yang lebih dalam. Mengabaikan atau menindaknya justru akan membuat masalah yang sebenarnya tidak tersentuh.
Lagipula, ada ketentuan hukum yang jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, diatur secara spesifik tentang penggunaan Bendera Negara. Pasal 17 dan Pasal 21 dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa Bendera Negara tidak boleh dipasang lebih rendah atau lebih kecil dari bendera lain, termasuk bendera organisasi atau simbol non-negara.
Aturan ini secara tersirat memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengibarkan bendera non-negara, selama aturan tata letak dan hierarki dihormati.Â
Selama bendera fiktif ini dikibarkan di bawah dan berukuran lebih kecil dari Bendera Merah Putih, tidak ada undang-undang yang dilanggar.Â
Ini menunjukkan bahwa protes yang dilakukan adalah protes yang cerdas, yang beroperasi di dalam batas-batas hukum, bukan bentuk perlawanan yang anarkis.
Atau kita rakyat Indonesia harus diam saja?