Mohon tunggu...
Ferry Irawan suyitno
Ferry Irawan suyitno Mohon Tunggu... rakyat biasaa

penikmat kopi, rokok kretek, buku, senja dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bukan Hanya Kata: Sastra Itu Cinta dan Perlawanan yang Paling Nyata

22 Juni 2025   21:57 Diperbarui: 22 Juni 2025   22:35 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar lukisan, laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan. mempunyai symbol perlawanan dan cinta. sumber: chat GPT AI

Aku tuh gak jago bikin bunga dari pita, apalagi bikin surprise penuh drama kayak di film-film romantis. Kata-kata manis buat caption Instagram. Waduh, itu juga bukan aku banget. Tapi, aku punya satu cara buat nyatain perasaan --- lewat sastra. Di tengah dunia yang makin sibuk ngejar viral, aku lebih milih jalan santai di lorong kata-kata. Di situ aku titipin namamu di bait puisi, nyelipin wajahmu di cerpen yang mungkin gak pernah kamu baca, atau ngumpetin rinduku di balik metafora yang cuma aku yang paham maksudnya. Buatku, sastra itu bukan sekadar susunan kata kece. Sastra itu cara hati bicara waktu mulut gak sanggup lagi mengeluarkan kata. 

 Waktu rasa terlalu ribet buat dijelasin ke orang lain. Lewat sastra, aku bisa bilang "Aku kangen, tahu!" tanpa bikin kamu ilfeel, tanpa harus spam chat malem-malem. Aku bilang cinta lewat caraku: nulis hal-hal kecil tentang kamu, tentang senyummu waktu hujan, tentang tawa yang kamu tinggalin di bangku taman, tentang mata kamu yang selalu aku inget --- tatapan itu lho, yang kayak lagi nusuk hati. Semua aku titipin ke puisi, ke cerita-cerita yang aku tulis diam-diam, di notes HP, di buku catatan, atau di kertas bekas tugas kuliah. Karena aku percaya, sastra itu bukan soal apa yang ditulis, tapi tentang rasa yang nyampe ke hati pembacanya. Tentang gimana satu kalimat bisa jadi pelukan, gimana satu bait bisa nenangin di malam yang sunyi. 

Makanya, izinkan aku sekali lagi bilang cinta. Bukan lewat suara, bukan lewat coklat mahal, tapi lewat kata-kata yang gak bakal kamu temuin di tempat lain. Tentang sebuah rasa yang kadang bikin aku gak nyaman seharian, tentang sebuah nama yang punya ruang Istimewa di dalam kepala. Karena buatku, sastra itu cara mencintai tanpa harus memiliki.

* Sastra Itu Perlawanan, Bro 

Di negeri ini, kata-kata sering dianggap cuma hiasan --- buat pidato pejabat, buat rayuan politik, atau pengantar tidur rakyat yang capek hidup. Padahal sejarah tuh udah sering banget buktiin, kalau perlawanan paling abadi itu lahir dari kalimat-kalimat yang ditulis pakai darah dan nurani. Sastra itu bukan cuma kumpulan kata indah. Dia senjata. Halus, tapi tajem banget. Bisa nusuk tanpa ketahuan. Dari dulu, karya sastra selalu jadi tempat ngumpetnya suara-suara yang dilarang ngomong. Lihat aja puisi Chairil Anwar yang berani, cerpen Pramoedya Ananta Toer yang getir, sampai lagu-lagu rakyat di zaman penjajahan. Di saat orang dibungkam, sastra tetep berani ngerekam luka, ngelawan ketidakadilan, dan nyimpen harapan yang gak bisa dibunuh sama peluru. Lebih Awet daripada Demo di Jalan yang bisa dibubarin pake gas air mata. 

 Kenapa sastra itu disebut perlawanan paling nyata? Karena kata-kata bisa lewat waktu dan ruang. Demo bisa bubar, pidato bisa dilupain, tapi puisi bisa hidup ratusan tahun setelah penulisnya udah gak ada. Coba deh lihat novel Animal Farm-nya George Orwell --- masih relate aja sampai sekarang. Atau Di Bawah Lindungan Ka'bah dari Hamka, yang gak cuma cerita cinta tapi juga tentang sistem sosial yang timpang. 

* Bahasa Itu Medan Tempur

 Sekarang, perlawanan gak cuma di jalanan. Di medsos, di tulisan, di status, di artikel, di caption --- semua bisa jadi arena. Saat fakta diputer-puter, kebenaran disumpelin, sastra jadi benteng buat nurani. Puisi, cerpen, esai, bahkan tweet bisa jadi senjata. Bahasa yang dulu dianggap cuma pemanis, sekarang bisa jadi peluru paling elegan. Kata-kata yang ditulis pakai hati bisa bikin rakyat tersentuh, dan di saat yang sama bikin penguasa keringetan. 

* Warisan yang Gak Pernah Mati

 Kita mungkin gak lahir di zaman penjajahan. Tapi ketidakadilan tuh gak pernah pensiun. Wujudnya beda aja: korupsi, kemiskinan, diskriminasi, ketimpangan. Dan di situ, sastra selalu jadi medium buat orang-orang yang mau bersuara. Gak perlu jadi Chairil Anwar atau Pramoedya dulu --- cukup jadi manusia yang berani nulis kebenaran di tengah dunia yang suka pura-pura. 

gambar lukisan, laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan. mempunyai symbol perlawanan dan cinta. sumber: chat GPT AI
gambar lukisan, laki-laki dan perempuan yang sedang berpelukan. mempunyai symbol perlawanan dan cinta. sumber: chat GPT AI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun