Mohon tunggu...
Ferra Shirly A.
Ferra Shirly A. Mohon Tunggu... istri yang suka menulis dan minum kopi

senang bekerja dan belajar dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langit Akan Kembali Cerah bagi Mereka yang Tak Pernah Menyerah

7 Februari 2025   22:44 Diperbarui: 13 Februari 2025   11:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, Bu Wati hidup berdua dengan putri semata wayangnya, Sekar. Rumah itu sangat sederhana, hanya memiliki satu kamar, tapi selalu tertata rapi dan bersih. Setiap pagi, Bu Wati sudah sibuk mencuci baju dan memasak, sementara Sekar dengan cekatan membersihkan debu dengan kemoceng lalu menyapu rumah. Mereka terbiasa hidup dengan keterbatasan, tapi tak pernah membiarkan rumahnya terlihat berantakan. Yang mereka miliki memang tak banyak, tapi kehangatan dan kasih sayang selalu memenuhi setiap sudut rumah mereka.

Hidup sudah mengajarkan Bu Wati untuk tidak berharap terlalu tinggi. Ia lahir di keluarga yang 'papa', terbiasa membantu orang tuanya sedari belia. Dari mencuci baju tetangga, menyapu rumah orang, hingga membantu memasak, semua ia lakoni tanpa mengeluh. Takdir membentuknya menjadi perempuan yang tangguh. Bukan karena ingin, tapi karena harus.

Dulu, ia pernah berharap hidupnya membaik setelah menikah. Tapi suaminya malah menyeretnya ke dalam luka yang lebih dalam. Laki-laki itu, yang awalnya ia kira sandaran, justru meninggalkannya demi judi dan perempuan nakal. Tidak ada kabar, tidak ada sisa tanggung jawab, hanya luka dan seorang anak yang harus ia besarkan sendirian.

Namun, Bu Wati tak mau berlama-lama meratapi nasib. Ia tidak peduli lagi pada laki-laki itu, bahkan tidak mau lagi mengingatnya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Sekar. Ia ingin putrinya tumbuh tanpa merasakan pahitnya hidup seperti dirinya. Ia ingin Sekar sekolah setinggi mungkin, mengejar cita-citanya sebagai perawat.

Setiap pagi, setelah Sekar berpamitan ke sekolah, Bu Wati pun mulai mencari nafkah. Mencuci baju orang, menyetrika, membersihkan rumah tetangga, dan apa saja yang bisa dilakukan untuk menyambung hidupnya selagi halal. Tangannya yang kasar karena sabun, punggungnya yang sering nyeri karena kelelahan, tak pernah ia pedulikan. Saat melihat Sekar belajar di sudut rumah, seketika matanya pun berbinar, dalam hatinya menyeruak kehangatan.

"Tolong kuatkan selalu aku Ya Allah, dan mudahkanlah jalan hidup anakku," doanya dalam hati setiap kali rasa lelah datang menghampiri.

Kadang, ia merasa sedih. Melihat ibu lain menunggu anaknya pulang sekolah dengan membawa jajanan, sementara ia hanya bisa menyediakan sepiring nasi dan lauk sederhana. Melihat anak-anak lain memakai sepatu bagus, sementara Sekar harus puas dengan sepatu yang sudah penuh dengan jahitan. Meskipun begitu, Sekar tak pernah mengeluh.

"Sekar tidak butuh apa-apa, Bu. Sekar hanya ingin bisa terus sekolah dan semoga suatu hari bisa membahagiakan ibu," kata Sekar suatu malam saat menghibur ibunya yang sedang termenung.

Bu Wati menggenggam erat tangan putrinya. Hatinya dipenuhi harap dan haru. Sekar tidak pernah meminta yang macam-macam. Dalam hati bu Wati bergumam, "Ia anak yang baik Ya Allah, bahagiakanlah hidupnya, limpahkanlah rahmat-Mu untuknya, dan jadikanlah ia anak yang sholihah."

Bu Wati tahu, takdir telah menetapkan hidupnya seperti itu. Ia tidak bisa mengubah masa lalunya, tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga yang lebih berada, pun tidak bisa menghindari pengkhianatan suaminya. Tapi ia masih punya pilihan, jatuh terpuruk atau terus melangkah.

Dan ia memilih melangkah. Demi Sekar. Demi satu-satunya harta yang ia miliki di dunia.

Kini, dua puluh satu tahun sudah Sekar menjalani hidupnya. Ia telah menjadi seorang perawat di salah satu rumah sakit ternama di kota mereka. Setiap harinya, ia merawat pasien dengan penuh kasih sayang. Di setiap langkahnya ia selalu terngiang ibunya yang dahulu merawatnya dengan penuh ketulusan. Bahkan, di balik kesibukannya, perhatiannya kepada Bu Wati tak pernah berkurang. Baginya, ibunya adalah pahlawan kehidupan, sosok luar biasa yang takkan pernah tergantikan.

---

Kisah ini, terinspirasi dari kisah nyata. Hingga kini, sosok Bu Wati masih terus berjuang untuk anak perempuan semata wayangnya. Semoga akhir dari kisahnya, seperti kisah ini, bahkan lebih indah. Jika Allah berkehendak, tiada yang tak mungkin. Dan hanya kepada-Nya kita semua bergantung.

Semoga cerita ini juga mampu menginspirasi para ibu yang harus berjuang sendirian. Takdir memang sudah Allah tetapkan. Namun, bagaimana kita menjalaninya, baik atau buruknya, kita sendiri yang menentukan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11)

"Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untukmu dirimu sendiri." (QS. Al-Isra: 7)

Karenanya, teruslah bermohon agar setiap langkah senantiasa dikuatkan, dimudahkan, dan diridhoi-Nya. Allah Maha Melihat dan tidak ada yang mustahil bagi-Nya, selagi kita mau terus berusaha dan tak pernah berputus asa dari rahmat-Nya.

Sebagaimana badai, setelah ia berlalu, langit akan kembali cerah bagi mereka yang tak pernah menyerah. Biidznillah..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun