Mohon tunggu...
Fathorrasik
Fathorrasik Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumenep

MENGALIR SEPERTI SUNGAI YANG MENGARAH PADA SAMUDERA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Nusantara, Sebuah Model Alternatif Pemikiran dan Pengamalan Islam

29 Desember 2018   05:01 Diperbarui: 29 Desember 2018   06:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 A. Pendahuluan

Dalam tataran praktis, sebenarnya tipologi Islam Nusantara telah lama terwujud di wilayah Nusantara. Sebuah model pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam dengan mempertimbangkan tradisi atau budaya lokal, sehingga dalam hal-hal di luar substansi, mampu mengekpresikan model berislam yang khas Nusantara dan membedakan dengan model berislam lainnya baik di Timur Tengah, India, Turki dan sebagainya. Secara konseptual, identitas Islam Nusantara ini telah ditulis oleh beberapa penulis, antara lain: Azyumardi Azra (2015) dengan judul Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal dan Nor Huda (2013) dengan judul Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Maka istilah Islam Nusantara bukanlah istilah baru, melainkan telah dikenal cukup lama, termasuk yang diperkenalkan kedua penulis tersebut. Hanya saja, kedua penulis ini menjelaskan Islam Nusantara ini dari segi tinjauan historis, belum banyak menyentuh tinjauan metodologis. 

Beberapa tahun terakhir, Islam Nusantara menjadi lebih populer karena dijadikan tema utama Muktamar Nahdatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang Jawa Timur yang berlangsung pada 1-5 Agustus 2015. Sementara NU mewakili umat Islam mainstream Indonesia, Islam Nusantara makin terpublikasikan dalam masyarakat Muslim Indonesia yang lebih luas, menembus masyarakat perkotaan hingga pedesaan. Penentuan tema utama Islam Nusantara dalam muktamar tersebut sebagai respons terhadap citra Islam di pentas internasional yang semakin merosot bahkan cenderung dinilai negatif, lantaran kasus-kasus kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan Islam, baik pembunuhan, penyanderaan, pemboman dan sebagainya.

 Identitas pelaku tindakan radikal dan pengatasnamaan Islam tersebut melahirkan anggapan yang salah bahwa Islam itu mengajarkan kekerasan, pertumpahan darah, tindakan keji, perlakuan kejam dan sadis, perbuatan barbar, dan tindakan-tindakan dehumanisasi lainnya. Padahal Islam lebih banyak mengajarkan kedamaian, kerukunan, keharmonisan, toleransi, dan keterbukaan. Sayangnya ajaran-ajaran yang indah dan sejuk ini kurang ditonjolkan, sehingga kurang dikenal oleh dunia internasional. Demikian pula, mayoritas umat Islam justru lebih mengutamakan kedamaian daripada kekerasan. Uniknya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh segelintir umat Islam inilah yang mengundang perhatian negatif-pejoratif dari masyarakat internasional, kemudian dijustifikasi sebagai karakteristik Islam. 

Tujuan penulis mengkaji Islam Nusantara dalam tulisan ini adalah berusaha menghadirkan salah satu alternatif model pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang humanis dan ramah, baik dalam lingkup geografis, sosial maupun budaya. Sebagai istilah baru, bagi kebanyakan umat Islam Indonesia, Asia Tenggara maupun dunia, makna Islam Nusantara perlu mendapatkan penjelasan yang cukup agar mudah dalam memahaminya.

B. Makna Islam Nusantara 

Upaya pemaknaan memberikan kontribusi yang besar bagi upaya memahami hakekat Islam Nusantara. Sebagai hakekat, sulit dipahami tanpa mengetahui ciri atau karakteristiknya. Selanjutnya makna tersebut memberikan pemahaman awal pada seseorang yang berusaha memahami substansinya. Dengan kata lain, makna Islam Nusantara berfungsi membuka jalan awal bagi pemahaman seseorang dalam menggali dan mengkaji pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang mencerminkan dan dipengaruhi oleh kawasan ini.

 Ada beberapa definisi tentang Islam Nusantara yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Islam, antara lain: "Islam Nusantara ialah paham dan praktek keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat." (Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67). Pemaknaan senada, "Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air" (Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239). Definisi pertama ini menunjukkan bahwa secara substantif, Islam Nusantara merupakan paham Islam dan implementasinya yang berlangsung di kawasan Nusantara sebagai akibat sintesis antara wahyu dan budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan lokal (local wisdom). Sedangkan definisi kedua merupakan Islam yang berkarakter Indonesia, tetapi juga sebagai hasil dari sintesis antara nilai-nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal. Hanya saja, wilayah geraknya dibatasi pada wilayah Indonesia, sehingga lebih sempit daripada wilayah gerak dalam pengertian yang pertama yang menyebut bumi Nusantara. Sayangnya, dalam sumber-sumber tersebut bumi Nusantara tidak dijelaskan wilayah jangkauannya. 

Selanjutnya, terdapat pemaknaan Islam Nusantara yang ditekankan sebagai metodologi dakwah yang berbeda dengan pemaknaan yang pertama maupun kedua.

 "Islam Nusantara adalah metodologi dakwah untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (syumuliyah) ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah waljama'ah, dalam suatu model yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi baik ('urf shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau merupakan tradisi tidak baik ('urf fasid) namun sedang dan/atau telah mengalami proses dakwah amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari'ah" (Anam, t.t: 22). 

Definisi tersebut, dari segi skala berlakunya memiliki kesamaan seperti definisi kedua. Namun, definisi ini mengandung penekanan, di samping pada metodologi dakwah, juga pada universalitas ajaran Islam, prinsip- prinsip ahlussunnah waljama'ah, dan proses dakwah amputasi, asimilasi, atau minimalisasi untuk mensterilkan metodologi dakwah itu dari tradisi-tradisi lokal yang menyesatkan. Alur berpikir yang tercermin dalam definisi ketiga itu juga kurang jelas, untuk tidak dikatakan kacau, sehingga tidak mudah dipahami kecuali dilakukan telaah secara cermat dan teliti, karena alur berpikirnya yang berkelok-kelok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun