Tidak bisa dipungkiri, pendidikan kita masih sering terjebak pada angka-angka. Keberhasilan sekolah diukur dari nilai ujian nasional (dulu) atau asesmen nasional (sekarang). Murid sering kali dipaksa mengejar nilai demi ranking, sementara aspek karakter, kreativitas, dan empati kurang mendapat ruang.
Guru pun sering sibuk menyiapkan laporan, bukannya mendampingi murid secara manusiawi.
Di lapangan, ketimpangan fasilitas juga sangat terasa. Sekolah-sekolah di kota besar mungkin bisa mengakses internet cepat, laboratorium modern, dan pelatihan guru berkelanjutan. Namun di pelosok, masih ada sekolah yang kekurangan guru, buku, bahkan bangunan yang layak.
Dalam kondisi seperti ini, sulit bicara soal pendidikan bermutu untuk semua, jika yang "semua" itu hanya berlaku di kota-kota besar.
Lebih jauh lagi, pendidikan kita juga menghadapi tantangan relevansi. Banyak lulusan yang pandai secara teori, tetapi gagap menghadapi dunia kerja atau kehidupan nyata. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara sekolah dan kebutuhan masyarakat.
Mutu pendidikan tidak cukup hanya membicarakan silabus, tetapi harus menyentuh kenyataan sehari-hari yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia.
Peran Guru Sebagai Teladan dan Penggerak
Dalam falsafah Ki Hadjar Dewantara, guru bukan sekadar pengajar, tetapi teladan. "Ing ngarsa sung tuladha" artinya guru harus lebih dulu menunjukkan sikap yang baik sebelum meminta muridnya meniru.
Guru yang disiplin, sabar, dan penuh kasih akan meninggalkan bekas jauh lebih dalam daripada ribuan kata nasihat. Inilah inti mutu pendidikan, guru yang menjadi manusia pembentuk manusia.
Namun realitasnya, guru sering terbebani tugas administratif. Mereka diminta mengisi begitu banyak formulir, laporan, dan dokumen. Akibatnya, energi untuk mendampingi murid justru berkurang. Padahal, yang dibutuhkan murid bukan hanya pelajaran di papan tulis, melainkan juga keteladanan, perhatian, dan motivasi.
Mutu pendidikan akan melonjak bila guru diberi ruang untuk kembali pada peran utamanya yakni mendidik dengan hati.
Guru juga perlu terus belajar. Di era digital, guru tidak boleh tertinggal dari muridnya. Penguasaan teknologi, pemahaman budaya digital, dan keterampilan membimbing anak agar bijak di dunia maya menjadi penting.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!