Ia sama sekali tidak bersimpati terhadap keadaanku yang berantakan. Wajah lebam penuh luka serta lengan dan dada yang bilur. Juga gaunku yang sobek  tak berkancing. Sibuk dipermainkan fantasinya sendiri.
"Kamu harus bisa memuaskan hasratnya," katanya disusul ledakan tawanya. " ia sungguh mirip ayahnya yang sekuat banteng!"
Aku tidak menanggapi. Surut dari hadapannya. Kurasa ia adalah wanita paling menjijikkan yang pernah kutemukan.
Kini aku mulai tersandera oleh janjiku terhadap suamiku untuk melayaninya sebaik mungkin. Kutumpahkan segenap daya dan kemampuanku bagai seorang wanita penghibur untuk memuaskan timbunan hasratnya yang lama terkubur.
Ia jarang mengajakku bicara. Lebih sering memandangku dengan ekspresi dendam, seolah aku seorang penipu yang sudah memperdaya dirinya.Â
Kemarahanannya disalurkannya secara brutal ketika menggauliku. Kasar dan tidak peduli. Ia ingin mengambil sebanyak-banyaknya tanpa sekalipun mengindahkan perasaanku. Itu dilakukannya hampir setiap malam. Menyisakan sosok lelaki yang lunglai kehabisan energi esok paginya.
Hal ini tak luput dari pengamatan ibunya yang setiap pagi sengaja mendatangi kediaman kami untuk menjenguk putra kesayangannya.
"Apa yang sudah kau lakukan terhadap Tsang Saoyemu!" Hardiknya garang mencengkeram tanganku dan mengguncang tubuhku.
Kuangkat wajahku sambil menyibakkan rambut yang menutupi sebagian mukaku. Menghadapnya. Agar ia tahu, tepatnya apa yang sudah diperbuat putranya terhadap istrinya.
Ia mengamati lebam-lebam di sekitar mata dan pipiku sambil tersenyum sinis. Tidak peduli. Kusingsing lenganku untuk menunjukanbekas cakaran dan gigitan putranya. Ia masih tidak peduli.
Aku geram menyaksikan reaksinya. Ia bukan hanya menjijikkan, tapi sekaligus kejam.
Yang ia pedulikan cuma satu. Bagaimana setelah berbulan-bulan menikah aku tak kunjung hamil?
Aku tidak menggubrisnya. Memberi salam hormat lalu menyusut dari hadapannya.
Suatu malam suamiku membahas kemungkinan aku mandul sehingga tak bisa memberi keturunan untuk keluarganya.
Aku memandangnya dengan dingin. Setelah beberapa bulan hidup bersamanya aku berhasil menangkap sifat-sifat penakut dalam dirinya. Ia mencoba mengekspresikannya dengan cara kasar untuk menutupi kelemahannya sendiri. Terutama terhadapku, karena di matanya aku perempuan tak berdaya dan menyedihkan.
Aku tidak boleh menunjukkan ketakutan, apalagi kelemahan.
Jadi kutantang dia untuk memanggil tabib keluarga guna memeriksa kesuburanku. Sambil meyakinkannya, aku masih sangat muda. Tubuhku segar dan penuh vitalitas. Saat itu juga kuingatkan, bahwa bila yang terjadi sebaliknya bagaimana? Bahwa ada kemungkinan dia yang kurang subur ? Apakah ia siap menghadapi. Karena bagaimanapun ia lelaki telat kawin. Ibarat tanaman lama tidak disiangi.
Ia mengerti maksudku. Namun tak berani menerima tantanganku. Semenjak saat itu persoalan anak tak pernah ia ungkit lagi dalam hubungan kami.
Sayang aku masih harus menghadapi ibunya yang menjijikkan dan kejam itu.
Ia bersikeras aku harus segera menghadiahkan seorang putra untuk keluarganya.
Aku memberanikan diri bertanya, " bagaimana bila nanti yang terlahir justru seorang putri?"
Ia menatap wajahku lekat. Lantas pandangannya turun ke bagian perutku yang pipih.
"Aku akan menyuruh bidan menyelesaikannya!" Katanya sambil memperagakan bagaimana ia membekap bayi perempuan yang terlahir dengan handuk basah sebelum makluk malang itu sempat memperdengarkan tangis pertamanya.
Aku membalas tatapannya dengan nanar. Arus dingin mengaliri seluruh tubuh.
Jadi selama ini desas-desus yang kudengar dari para pelayan ternyata benar. Berkali-kali ia membunuh bayi perempuan yang dilahirkan keluarga itu. Termasuk darah dagingnya sendiri. Â Itulah mengapa ia hanya punya empat orang putra.
Saat itulah kuputuskan dengan hati mengeras, aku tak sudi melahirkan anak untuk keluarga tersebut. Ibu mertuaku bukan hanya menjijikkan dan kejam. Tapi juga jalang!