Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lorong kehidupan

27 September 2021   07:30 Diperbarui: 27 September 2021   07:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesekali tuan Deng melayangkan pandangannya yang hangat kepada kami sambil tersenyum. Mengangkat cangkir tehnya. Mengajakku bersulang sebelum menyeruputnya dengan perlahan.

Tidak seperti para undangan lain, tuan Deng menunjukkan sikap beretika. Selera makannya terkontrol, tidak berlebihan. Ini pertama kali aku merasa menyukai tamu suamiku yang biasanya barbar dan sangat kasar. Tuan Deng sangat berbeda dengan mereka.

Tapi pembicaraan mereka yang berlarut membuat bocah itu  jemu. Ia menunduk gelisah sambil mempermainkan jari-jari tangannya. Aku ingin bersekutu dengannya membebaskan diri dari suasana tersebut.

"Ayi punya sesuatu yang lebih menarik untuk kuperlihatkan padamu. Bagaimana?" Aku menawarkan ide yang spontan membuatnya bergairah.
Ia melemparkan pandangannya kepada ayahnya sebagai isyarat. Sang ayah segera menangkap kejemuan putrinya. Bangkit sambil mengangguk kepadaku.

"Saya harap Tsang dai-dai tidak keberatan mengantar putri saya yang selalu ingin tahu berjalan-jalan menikmati suasana rumah ini." Ia mengambil inisiatif membantu kami berdua terlepas dari kungkungan suasana yang membosankan ini.

Suamiku memberi respon dengan memandang dingin kepadaku.
"Ajaklah tamu kita menikmati tanaman cherry di taman belakang." Katanya. " kulihat beberapa hari lalu sudah mulai berbuah."

Dengan bersemangat kami meluncur meninggalkan ruang perjamuan. Setengah berlari aku mengikuti Yin-yin yang berinisiatif menjelajahi rumah kami yang luas.

Setelah puas memetik beragam buah di taman dan menempatkannya di keranjang rotan iseng-iseng kuajak dia meninjau ruang pribadiku yang menyimpan beberapa buah karya lukis dan kaligrafi. 

Ternyata ia menunjukkan ketertarikannya. Menanyakan arti beberapa kata yang kugoreskan di kanvas sutra. Aku menerangkannya dengan bahasa sederhana, sambil mengajaknya membuat kaligrafi simpel yang terhubung dengan namanya. Ia mengangguk antusias.

Aku menggelar kanvas baru di atas sandaran. Lalu menggerus batu tinta. Kupandu tangan mungilnya memegang kuas bambu. Menuliskan dua huruf "FEI YIN" ke dalam kanvas. Kuajak ia melukis beragam bentuk awan untuk latar tulisan kami.
"Engkau harus menjadi awan yang bisa terbang," kataku sambil mengamati raut mukanya yang lembut. Membelainya.
"Aku setuju!"

Keasyikan kami terpecah oleh komentar tuan Deng yang tahu-tahu sudah  menyusup ke ruang kami. Mengamati kanvas dengan penuh minat.
"Jangan biarkan awan itu terperangkap hujan lalu jatuh ke bumi." Tuan Deng melanjutkan komentarnya sambil menatapku tajam.
"Bukankah begitu maksud Tsang dai-dai ?" Sambil menunjuk gambar awan berbentuk sayap yang digambar putrinya atas tuntunanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun