Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lorong kehidupan

27 September 2021   07:30 Diperbarui: 27 September 2021   07:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Maka pandangan kami bertemu. Sejenak aku terpaku pada raut wajah tampan dengan garis-garis kematangan berpikir yang tergugat di keningnya yang lebar.
Ia menyambut tatapanku dengan penuh. Menembus alam kalbu bagai ingin menelanjangi.

Kutundukkan wajahku. Yin-yin melemparkan pandangannya silih berganti ke arah kami. Lalu menarik tangan ayahnya.
"Fujin sangat pandai membuat kaligrafi." Kata-katanya ditujukan kepadaku.

Aku beranjak menggelar kanvas baru. Mengangsurkan kotak berisi beragam bentuk dan ukuran kuas. Tersenyum kuangsurkan kepadanya.
"Silahkan tuan Deng," kataku dengan perasaan hangat.
Ia membuat suasana hatiku bagai musim semi. Dipenuhi bunga bermekaran.

Untuk beberapa lama tuan Deng menyatukan dirinya bersama kanvas sutra diatas easel. Menginstruksikanku agar jangan bergerak. Pandangannya terpaku ke kanvas lalu dihunjamkan ke wajahku. Itu dilakukannya berulang kali.

Ia menyelesaikan keasyikannya dengan tarikan napas lega. Menegakkan bahunya sambil merentangkan kedua tangannya.

Yin-yin bergegas lari menyejajarkan diri dengan ayahnya. Berteriak Memanggilku untuk bergabung.

"Ayi lihatlah apa yang sudah dilakukan fujin!"
Aku melangkah mendekati mereka. Terpaku di hadapan kanvas.

Kulihat sesosok wanita bergaun panjang dengan selendang sutra melingkari pinggangnya yang ramping berlekuk. Jari-jarinya yang lentik merentangkan selendang. Seperti sedang menari sekaligus mencoba terbang. Wajahnya yang tirus menyungging senyum lembut dengan hidung runcing menguncup. 

Sepasang alis tipis melekuk menaungi bola matanya yang menyipit. Di sudut kanan kanvas tertulis "SHEN MEI", kecantikan abadi.
Pandanganku nanar terpaku jatuh kedalam pesona laki-laki itu.

Ia menekuk kaki  dengan anggun sebelum membungkuk. Sikap kerendahan hati terhadap wanita yang nyaris langka pada jamanku.

"Kupersembahkan karyaku buat Tsang dai-dai'" bisiknya sambil melingkarkan tangannya ke bahu putrinya. Beranjak meninggalkanku di bilur rasa kesepian berkepanjangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun