Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lorong kehidupan

27 September 2021   07:30 Diperbarui: 27 September 2021   07:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kubiarkan ia meletupkan kekecewaannya. Menampariku berulang kali disusul pukulan bertubi-tubi ke dadaku. Kuanggap ini sebagai uang muka dari hutangku terhadapnya. Hutang yang harus kucicil bertahun-tahun kemudian.    

Akhirnya dalam keadaan kelelahan ia menyudahi siksaannya. Bersusah-payah bangun. Wajahku panas dan sekujur tubuhku sakit sekali. Siap menyambut akhir dari drama malam pengantin kami.

Kususut genangan air mata bercampur darah di bibirku. Mendekatkan tubuhku ke tubuhnya yang berbaring mematung dengan wajah merah padam.
"Tidak perlu tuan tahu siapa dia," bisikku membelai wajahnya. "Semuanya sudah lama berlalu."

Ia mendelik. Namun tidak menolak sentuhanku. Kubaringkan kepalaku di perutnya yang buncit. Mengusapnya berkali-kali untuk melunakkan kemarahannya.
"Bila tuan berkenan menerimaku, saya siap melayani dan membuat tuan hidup bagai di sorga," bisikku tepat di telinganya.

Beberapa lama keheningan menguasai kami berdua.

Akhirnya ia mendorong tubuhku yang melekat ke tubuhnya yang panas dan basah berpeluh. Lalu bangkit. Menyambar pisau cukur. Kembali kepadaku. Pisau itu diarahkan ke lipatan pahaku.

Aku meringis menahan sakit tatkala ia membuat goresan panjang di situ. Lalu meraih kain putih di kepala ranjang. Ia melap luka goresan dan selangkanganku dengan kain tersebut. Kemudian memasukkannya ke dalam kotak yang terbuat dari kayu cendana.

"Ibuku sedang menunggumu di beranda. Berikan kotak ini kepadanya!" Katanya.
Aku mengangguk.

"Terimakasih," bisikku sambil mengenakan kembali gaunku yang berantakan dan beranjak keluar kamar.

Ibu mertuaku sedang duduk di beranda ditemani pelayannya. Ngantuk dan gelisah. Aku berlutut seraya mengangsurkan kotak yang mengeluarkan bau wangi cendana itu kepadanya. Ia membentangkan kain yang dipenuhi limpahan cairan sperma bercampur darah itu sambil tersenyum mesum.

"Anakku sungguh perkasa," senyumnya makin mekar ketika mengibaskan kain itu tepat di depan wajahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun