Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lorong kehidupan

27 September 2021   07:30 Diperbarui: 27 September 2021   07:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun demi tahun kujalani dalam senyap. Tiap pagi aku menyuruh pelayan pribadi memijit perutku untuk membuang buah-buah kehidupan yang barangkali disemaikan suami ke tubuhku. Tak lupa menelan beberapa butir biji kapas yang dengan mudah dipetik dari ladang di belakang rumah.
Ini adalah cara paling tradisional yang sudah lama dilakukan ibuku jika tidak menghendaki kehamilan lagi. Ia lelah karena sudah melahirkan sembilan orang anak. Masa mudanya terenggut tak bersisa untuk hamil, melahirkan dan menyusui bayi-bayinya  hingga buah dadanya mengempis mirip balon bocor.

Hari-hari panjang kuisi dengan belajar melukis dan menekuni seni kaligrafi. Hobi yang sudah lama tersimpan dan tak tersalurkan sebelum menikah.
Untuk pertama kalinya suamiku menunjukkan belas kasihannya kepadaku dengan mengundang seorang guru melukis dan ahli kaligrafi untukku. Ia tahu aku sangat kesepian terkurung di dalam rumah besarnya.
Nyonya Liao adalah guru pembimbingku. Masih sepupu suamiku. Ia wanita berpendidkan yang pernah belajar seni tradisional di Beijing.
Aku langsung menyukai perempuan paruh baya dengan gurat-gurat halus di wajahnya itu. Ia nampak lembut dan bijak. Membiarkan rambutnya yang dipotong pendek memutih. Tidak ada upaya mempercantik diri.
Ia mengajariku cara memegang kuas bulu bambu dengan ujung jempol dan telunjuk disatukan agar bisa leluasa digerakkan guna menyalurkan ekspresi perasaanku kedalam tulisan berbentuk rumput.  Sambil mengomentari lukisan kaligrafi karyaku kulihat gerakannya yang ringan menggerus batu tinta.  Keindahan lukisan amat dipengaruhi kepekatan dan kecairan tinta yang kita buat.

"Melukis kaligrafi sama halnya dengan meditasi," ia menandaskan sambil mengamati karya perdanaku yang dibentuk dari tiga huruf REN SHEN LU, lorong kehidupan manusia.
"Dai-dai harus bisa mengosongkan jiwa raga dan menyalurkan energi ke jari-jari."
Ia mengamati bentangan kanvas sutra karyaku yang berlatar belakang jalan memanjang. Dibentengi Tebing tinggi dan curam. Di ujungnya dihadang jurang gelap tertutup kabut. Komposisi alam hasil interpretasi terhadap jalan hidupku yang terjal penuh liku. Sebuah karya yang muram.
"Hidup tak selamanya akan seperti ini," komentarnya lirih. Memandangi wajahku penuh belas kasihan. " Akan tiba saatnya matahari terbit memancarkan sinarnya yang terang dan hangat."
Ia melingkarkan tangannya ke bahuku. Memberikan sentuhan keakraban.
Aku menyisihkan tangannya. Begitu putus asa terhadap hidup perkawinanku yang menyedihkan. Tanpa hasrat cinta. Semata-mata diisi untuk membayar hutang pribadiku terhadap suami yang berkarakter dingin dan tidak peduli. Tidak tahu ini bakal berlangsung sampai kapan.

                                                             ***

Keluarga suamiku yang bergerak di bidang pemeliharaan ulat dan pemintalan benang sutra secara periodik mengadakan perjamuan. Mengundang para produsen kain sutra dan pedagang  yang menjadi ujung tombak penjualan benang produk keluarga Tsang. Mereka berasal dari kelompok Patriakal yang jarang menampilkan kaum perempuan dalam berelasi dan bersosialisasi.
Perjamuan hanya dihadiri kaum lelaki dengan penampilan bebas dan suara parau. Mereka makan kudapan beserta daging domba panggang dengan rakus. Diselingi minum tuak. Makin larut dalam suasana nyaris mabuk suasana perjamuan jadi makin liar tak terkendali.
Setelah tampil sejenak untuk memberi hormat kepada tamu yang hadir aku biasanya secara perlahan surut menarik diri. Karena tidak tahan dengan ulah para tamu yang kasar serta melecehkan. Bersembunyi di ruang pribadiku untuk melukis. Baru muncul setelah para tamu pulang dan aku harus memapah tuan Tsang dalam keadaan mabuk berat ke kamar.

Suatu ketika ada yang berubah. Kali ini yang dijamu di rumah rupanya seorang tamu spesial, bekas teman sekolah tuan Tsang yang kini juga menjadi pembeli benang produksi keluarga terbesar.
Tuan bermarga Deng itu datang membawa putrinya yang berusia dua belas tahun. Beliau sudah memberitahu kepada suamiku akan rencana kedatangannya tersebut. Secara khusus ia menyebutkan ingin berkenalan pula dengan Tsang Dai-dai lantaran waktu kami menikah ia masih diliputi suasana berkabung. Istrinya belum genap setahun meninggal. Menurut tradisi tidak diperkenankan menghadiri acara pernikahan atau peristiwa bahagia lainnya. Takut membawa bala.

Perjamuan pun dilaksanakan siang hari, karena adanya tamu undangan yang masih kanak-kanak. Tidak disediakan tuak. Tapi diganti teh Yasmin dan minuman ringan. Menu pun diganti hidangan yang lebih simpel.
Aku menikmati perubahan suasana dengan cermat. Baru kali ini keluarga Tsang memberi perhatian khusus terhadap undangan perempuan, meskipun masih anak-anak. Ibu mertuaku menolak ikut menyambut karena menganggap hal itu akan menurunkan martabatnya.

Tamu yang kami nantikan tiba sekitar pukul sebelas. Aku berdiri di sebelah suamiku di gerbang diiringi staf pelayan dan kepala juru masak yang akan menampilkan keahliannya menyajikan beragam hidangan tradisional berkualitas.
Tuan Deng seumuran dengan suamiku. Namun ia tampil anggun dan penuh kepercayaan diri, lebih mirip xiu cai ( kaum terpelajar) ketimbang pedagang. Badannya tinggi dan ramping. Memakai pantalon bergaya Eropa dengan jas tertutup yang rapi dan modis dari bahan wol unggulan berwarna gelap.
Ia menggandeng seorang gadis cilik berwajah ceria. Matanya yang bulat bergerak lincah menyapu kami dengan rasa ingin tahunya yang polos khas bocah. Maka aku menyaksikan sosok bocah paling ceria dan nyaman pada dirinya.
Ia adalah produk langka jaman kami hidup, tatkala kaum perempuan selalu dijadikan komoditas yang tak layak dihargai; apalagi dicintai. Perasaanku sejuk tatkala kulihat tuan Deng dengan sikapnya yang kebapakan dan protektif memperkenalkan putrinya kepada kami. Membuat suamiku dan para pelayan canggung.
Maka aku mengambil inisiatif mendekati putrinya. Menyejajarkan posisi tubuhku dengannya dengan menekuk kaki. Tersenyum menyapanya.
"Selamat datang ke rumah kami nona Deng yang cantik." Aku tersenyum sambil menunggu isyarat darinya.
"Nama saya Yin-yin." Dengan lantang ia memperkenalkan diri. Lalu melingkarkan tangan memeluk leherku.
"Ayi adalah perempuan paling cantik yang pernah kutemui setelah Mujin." Lanjutnya ekspresif.
Tuan Deng mendekati putrinya . Dengan nada meminta maaf membelai kepalanya sambil berujar," Sulit bagi anak seusianya untuk melepas kepergian seorang ibu ."
Aku mengangguk penuh haru.
"Saya mengerti tuan Deng." Lalu memandang Yin-yin.
"Alangkah senangnya bila saya bisa menjadi sahabatmu." Aku balas merengkuh dan memeluknya erat. Dan tatkala meregangkan tubuh kulihat mata yang begitu jernih dan indah itu berkaca-kaca. Mata yang merindukan kehadiran sosok ibu.
Tanpa berujar lebih lanjut aku menggenggam erat tangannya. Mengikuti suamiku dan ayahnya ke ruang perjamuan diiringi pelayan yang siap menyajikan hidangan terpilih untuk menghormati teman sekaligus pelanggan tuan mereka.

Perjamuan berjalan dalam suasana tidak seformil biasanya. Aku mengambil tempat di sebelah sang putri. Menyumpitkan panganan yang jauh dari jangkauan tangan kecilnya. Puas menyaksikan gadis itu melumat makanannya dengan mulut terkatup namun lahap.

Berseberangan dengan kami suamiku dan tuan Deng terlibat percakapan serius tentang perubahan politik yang diperhitungkan dapat berdampak terhadap kelangsungan hidup dan dunia perdagangan.

pemerintah pusat yang dikuasai partai Komunis telah mengganti sistem feodal dengan mencopot pejabat daerah yang terdiri dari kaum bangsawan dan tuan tanah dan menempatkan kaum militer sebagai penguasa tunggal di tiap distrik. Termasuk lingkungan kami. Konon yang menjabat sebagai bupati adalah seorang pensiunan Jendral angkatan darat berbintang tiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun