Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Penulis Multitalenta, Pengamat Sosial, Pemerhati AI, Pelaku Pasar Modal

Penulis multidisipliner yang aktif menulis di ranah fiksi dan nonfiksi. Fokus tulisan meliputi pendidikan, politik, hukum, artificial intelligence, sastra, pengetahuan populer, dan kuliner. Menulis sebagai kemerdekaan berpikir, medium refleksi, ekspresi ilmiah, dan kontribusi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Soeharto, CIA, dan Tuduhan Kudeta terhadap Soekarno: Antara Pengkhianatan dan Realpolitik Perang Dingin

30 September 2025   07:08 Diperbarui: 30 September 2025   07:08 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sudut realpolitik Perang Dingin, tindakannya juga bisa dipahami sebagai upaya pragmatis menjaga negara dari potensi dominasi PKI dan blok komunis

Peristiwa 1965 merupakan titik balik besar dalam sejarah Indonesia. Jenderal Soeharto sering dituduh melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno dengan dukungan CIA. 

Namun, dinamika politik saat itu tidak dapat dilepaskan dari konstelasi global Perang Dingin, pertarungan ideologi kapitalis-liberal versus komunis, serta eskalasi konflik domestik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Tulisan ini menganalisis apakah Soeharto benar dapat dicap pengkhianat, atau justru ia bertindak sebagai aktor realpolitik yang menstabilkan negara dalam situasi genting.

Pendahuluan

Historiografi Indonesia masih terbelah dalam menilai peran Soeharto pada peristiwa G30S 1965 dan jatuhnya Soekarno. 

Sebagian menuduhnya pengkhianat yang merebut kekuasaan dengan bantuan CIA. Sebagian lain menilai langkahnya realistis untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunis. 

Pertanyaan kunci: apakah Soeharto sekadar "wayang" CIA, atau pemain utama dengan agenda nasionalis-pragmatis?

Metodologi

Kajian ini menggunakan:

1.Analisis dokumen CIA yang telah dideklasifikasi (misalnya Foreign Relations of the United States).

2.Kajian historiografi dari sejarawan Indonesia dan internasional.

3.Analisis teori Perang Dingin, khususnya konsep proxy war dan containment policy.

Kajian Teoritik

*Teori Realisme Politik: Negara bertindak untuk bertahan hidup dalam sistem internasional yang anarkis.

*Teori Proxy War: Konflik domestik sering dipengaruhi rivalitas blok global.

*Historiografi Kritikal: Sejarah ditulis pemenang, sehingga narasi resmi bisa bias.

Pembahasan

1. Latar Belakang: Ancaman PKI

*PKI tahun 1960-an adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Uni Soviet.

*Terlibat dalam agitasi politik, konflik agraria, dan peristiwa berdarah di berbagai daerah (pembantaian ulama di Jawa Timur, Gubernur Suryo, dll).

*Soekarno menganut politik Nasakom (nasionalis, agama, komunis) yang mencoba mengakomodasi PKI.

2. Peristiwa 1965 dan Peran Soeharto

*Malam 30 September 1965: enam jenderal TNI AD dibunuh, dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S).

*Soeharto, sebagai Panglima Kostrad, bergerak cepat mengambil kendali militer.

*Melalui Supersemar (11 Maret 1966), ia memperoleh legitimasi untuk mengambil alih keamanan, lalu secara de facto kekuasaan.

3. Keterlibatan CIA

*Dokumen deklasifikasi CIA mengungkap bahwa AS memberi dukungan moral, logistik, dan informasi intelijen kepada militer Indonesia.

*CIA khawatir Indonesia jatuh ke blok komunis, mengingat posisi strategisnya.

*Namun, belum ada bukti kuat bahwa CIA merancang langsung G30S; yang jelas, mereka mendukung Soeharto setelah peristiwa itu.

4. Soeharto: Pengkhianat atau Realis?

Pengkhianat:

*Menggunakan krisis untuk melemahkan Soekarno dan menyingkirkan PKI.

*Mengubah orientasi Indonesia ke arah pro-Barat, meninggalkan garis politik Soekarno.

Realis:

*Tanpa tindakan militer, Indonesia berpotensi jatuh ke perang saudara besar.

*Eliminasi PKI dianggap menyelamatkan kaum agamis, nasionalis, dan stabilitas negara.

*Bantuan CIA adalah bagian dari konteks global Perang Dingin, bukan semata-mata "jual bangsa".

Label "pengkhianat" pada Soeharto lahir dari narasi politik dan kekecewaan atas otoritariannya di masa Orde Baru. 

Namun, jika ditinjau dari sudut realpolitik Perang Dingin, tindakannya juga bisa dipahami sebagai upaya pragmatis menjaga negara dari potensi dominasi PKI dan blok komunis. 

Soeharto bukan agen, tapi mitra pragmatis CIA dalam konteks Perang Dingin. Ia adalah aktor domestik dengan kepentingan sendiri, dengan memanfaatkan dukungan CIA/AS untuk memperkuat posisinya.

CIA "menunggangi" situasi untuk melemahkan Soekarno dan menghancurkan PKI, tapi itu berbeda dengan menjadikan Soeharto "boneka CIA".

Narasi "Soeharto agen CIA" lebih banyak muncul dari propaganda politik (baik kelompok kiri maupun pendukung Soekarno), bukan hasil bukti arsip solid.

Referensi

Cribb, R. (1990). The Indonesian Killings 1965--1966: Studies from Java and Bali. Clayton: Monash University.

Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press.

Kahin, A. (1999). Southeast Asia: A Testament. Routledge.

Simpson, B. (2008). Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960--1968. Stanford University Press.

US Department of State. (2001). Foreign Relations of the United States, 1964--1968, Volume XXVI, Indonesia; Malaysia-Singapore; Philippines. Washington: Government Printing Office.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun