Aki Balangantrang: Sunyi di Ujung Takdir
(Naskah Drama Monolog)
Karya: Fajar Budhi Wibowo (2015)
Pusat Studi Budaya dan Sejarah "Sanghyang Hawu"
-
PROLOG – SUNGAI DAN SUNYI (±3 menit)
Suasana:
Cahaya remang warna kuning keemasan.
Suara gemericik sungai tipis.
Aki Balangantrang duduk di atas batu datar, tongkat di tangan.
(Kosong sejenak. Tarik napas panjang.)
Kadang aku bertanya pada air sungai ini... kenapa kau selalu mengalir... meski tak ada yang menunggu di ujung sana?
Tapi sungai ini tak pernah menjawab. Sama seperti hidupku.
(Senyum kecil, pahit.)
Orang-orang menyebutku... Aki Balangantrang. Kakek tua penjaga sunyi. Batu karang di tepi Citanduy. Hah! Nama yang besar untuk hidup yang kecil.
(Tunduk sejenak.)
Dulu, aku bagian dari istana. Muda, gagah, lapar akan kemenangan. Tapi kemenangan... hanya candu yang membuatmu kehilangan akal. Ketika semua menjadi dusta... aku memilih pergi.
(Suara sungai lebih keras. Aki memejamkan mata.)
Tapi, sungai ini tahu caranya bercanda. Sebab suatu pagi... ia menghanyutkan takdir ke hadapanku.
Sebuah bakul bambu. Di dalamnya, dua titipan yang akan mengubah dunia: seorang bayi kecil... dan sebutir telur ayam.
Bayi yang menangis. Telur yang diam. Dan aku? Orang tua bodoh... yang memilih menyelamatkan keduanya.
(Senyum kecil.)
Dan di sinilah kisahku dimulai.
-
BAGIAN II – PENEMUAN BAKUL BAMBU (±4 menit)
Suasana:
Cahaya pagi berkabut.
Suara sungai lebih jelas.
AKI BALANGANTRANG:
Pagi itu... sungai bersuara aneh. Bukan deras... bukan pasrah... tapi seperti... berbisik.
Kupikir ada buaya lapar. Atau arwah tersesat. Tapi kudapati... hanyalah sebuah bakul bambu. Kecil, rapuh, mengapung... melawan arus hidup.
Di dalamnya... ada seorang bayi. Keriput, menangis... sebelahnya ada telur. Ya, sebutir telur ayam. Diam. Bulat. Hangat. Seolah berkata: "Aku juga bagian dari cerita ini."
Apa yang lebih ajaib dari bayi dan telur, kawan? Yang satu tangisan awal kehidupan... Yang satu... janji yang belum dimulai.
Kupeluk bayi itu. Kutimang telur itu. Kupanggil ia... Ciung Wanara.
Aku tak tahu siapa orang tuanya. Aku hanya tahu... dunia membuangnya. Dan sungai... mengembalikannya padaku.
Kadang... hidup tak memberi kita pilihan. Kadang... hanya ada satu suara yang terdengar: Rawat.
--
BAGIAN III – PENGASUHAN DI TENGAH SUNYI (±5 menit)
Suasana:
Cahaya hangat kehijauan.
Suara ayam kecil berkokok samar.
AKI BALANGANTRANG:
Hidupku berubah. Aku, si kakek tua penjaga sunyi... jadi tukang buai bayi.
Anak itu tumbuh. Matanya... seperti air sungai... tenang, tapi dalam.
Lalu... telur itu menetas. Seekor ayam jago kecil... hitam, matanya tajam. Ia mengikuti anak itu ke mana-mana.
Bayangkan... setiap pagi aku berkata: "Ayo makan, Nak." Lalu dua mulut terbuka: satu manusia... satu ayam.
Tapi mereka saling melengkapi. Yang satu bertanya... yang satu diam... Tapi keduanya… menunggu jawaban dari dunia.
Aku ajari anak itu... arti sabar. Dunia tak adil. Tapi kau tetap harus jadi manusia.
“Kau tak perlu jadi raja, Nak... Cukuplah jadi manusia.”
Tapi matanya seperti berkata: "Bukan aku yang memilih takdirku, Kek."
Aku... membesarkan badai.
--
BAGIAN IV – AJARAN TERAKHIR (±5 menit)
Suasana:
Cahaya dingin kebiruan.
Suara malam sunyi.
AKI BALANGANTRANG:
Malam terakhir. Malam terakhir aku... menjadi seorang kakek.
Anak itu berdiri di depanku... bukan lagi anak-anak. Badan tegap. Mata tajam. Aku tahu... aku harus bicara.
“Kau akan pergi, Nak. Ke kerajaan yang membuangmu. Ke tangan-tangan yang dulu menghanyutkanmu.”
Aku ingin berkata: jangan pergi. Tapi bagaimana bisa? Bukankah aku membesarkanmu jadi manusia?
Aku beri dia ayam jagonya. Kupanggil ia mendekat... kupeluk dia... untuk terakhir kali.
“Kau bawa ayam sakti itu, Nak. Bawalah seluruh doa kakekmu. Tapi jangan bawa dendam. Jadilah manusia.”
Itu... ajaran terakhirku. Yang mungkin... akan ia lupakan.
Dan malam itu... ia pergi. Tak menoleh. Tak bicara.
Dan di beranda rumahku... aku menangis.
-
BAGIAN V – EPILOG: SUNYI YANG SEMPURNA (±8 menit)
Suasana:
Cahaya merah tembaga.
Musik gamelan sangat samar.
AKI BALANGANTRANG:
Dan begitulah aku... kembali sendiri. Sungai terus mengalir. Ayam-ayam tetap berkokok. Aku? Aku menunggu. Menunggu apa? Entahlah. Mungkin... hanya... menunggu mati.
Konon... anak itu kini raja. Ciung Wanara, penguasa timur. Semua orang mengenal namanya. Tapi tak seorang pun bertanya... siapa yang membesarkannya.
Tak ada tempat dalam kisah kemenangan... bagi penjaga sunyi.
Mungkin benar... aku cuma batu di tepi sungai. Tempat air berhenti sejenak... lalu pergi.
Tapi biarlah. Aku puas. Bukan kerajaan yang ingin kutinggalkan... tapi satu pesan yang kubisikkan malam itu: "Jadilah manusia."
Jika ia mengingatnya... aku menang. Jika tidak... biarlah sungai yang jadi saksi.
Kadang aku ingin bertanya pada sungai: "Kau ini... sungai... atau takdir?"
Dan kalian... jika suatu hari menemukan bakul hanyut di sungai... jangan tanya siapa pemiliknya. Cukup kau rawat. Sebab kadang... takdir tak memilih pahlawan. Ia memilih... penjaga yang terlupakan.
Dan di sinilah aku. Aki Balangantrang. Penjaga titipan langit. Dan kini... aku hanya menunggu... sunyi... yang sempurna.
(Lampu padam. Sunyi. Musik gamelan satu nada panjang.)
-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI