Air membanjiri Padang Karuhun. Tanah yang tadinya retak, kini tenggelam dalam genangan yang memantulkan langit. Perahu raksasa itu tenggelam separuh, terjebak di antara bebatuan dan pohon-pohon tumbang. Seolah-olah perahu itu hendak memaksa terus maju, tetapi waktu telah memerintahkan diam.
Sangkuriang terduduk di atas batu, tubuhnya penuh lumpur, matanya merah seperti sisa bara. Tangannya masih menggenggam palu kayu, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa dipukul.
“Kuring nyieun dunya pikeun balik,” geramnya lirih.
(Aku menciptakan dunia untuk pulang.)
“Tapi ieu dunya nolak kuring,”
(Tapi dunia ini menolak aku.)
Sinar mentari rekayasa waktu Dayang Sumbi terus merambat. Ketika sinar fajar pertama yang dipanggil Dayang Sumbi menyentuh bendungan, makhluk-makhluk kabur dari keringat Sangkuriang mulai memudar, tubuh mereka meleleh seperti bayang-bayang yang terbakar sinar matahari, hingga lenyap sepenuhnya. Retakan membelah batu, air berontak, menghantam dengan kekuatan zaman. Perahu itu berguncang, dan batu-batu runtuh.
Sangkuriang berteriak:
Can wancina! Kuring acan rengsé!”
(Belum waktunya! Aku belum selesai!)
Tapi waktu sudah memutuskan. Batu pecah. Air menghantam. Perahu besar menjulang seperti bentuk gunung terhempas. Air danau pun surut.
Langit menutup kembali. Kabut turun. Perahu itu tidak pernah kembali.
Dan di atas, Dayang Sumbi menangis. Bukan karena menang, tapi karena harus memutuskan garis yang ia rajut sendiri.
“Kuring lain indung nu tegel nyiksa anak. Tapi dunya iyeu teu bisa diwangun ku amarah.” katanya (Aku bukan ibu yang tega menyakiti anak. Tapi dunia ini tak bisa dibangun dengan amarah.)
Bersambung ke Bagian Ketiga (Selanjutnya)...