Bagian II: Perahu, Bendung dan Nafsu Menaklukkan
Langit menggantung seperti luka yang belum sembuh. Fajar memendarkan cahaya yang aneh, tidak merah, tidak jingga, melainkan keperakan. Tanda bahwa sesuatu yang besar sedang dibengkokkan dari jalurnya.
Benang-benang waktu di tangan Dayang Sumbi menjadi lebih berat. Udara pun terasa tegang, seperti kulit gendang yang menanti pukulan.
Di lembah bawah, Sangkuriang berdiri tegak di antara kabut dan reruntuhan pepohonan. Ia telah mencapai tanah yang disebut orang-orang tua sebagai Padang Karuhun, tempat di mana dahulu leluhur-leluhur pertama memanggil langit turun agar bumi tumbuh. Tapi kali ini, yang datang bukanlah langit, melainkan api.
Matanya menyapu horizon. Ia melihat segala yang diam dan tua. Gunung menjulang tanpa nama, lembah sunyi tanpa suara. Di kepalanya bergemuruh satu tekad:
“Kuring moal balik ka langit, saméméh kuring nyieun dunya anyar,” guman Sangkuriang.
(Aku takkan kembali ke langit, sebelum aku ciptakan dunia baru.)
Ia mulai membangun sesuatu. Sesuatu yang belum pernah terbayangkan oleh tanah ini: sebuah perahu raksasa.
Tapi bukan perahu untuk melaut. Ini adalah perahu untuk menaklukkan waktu.
Dari pohon-pohon tertua yang tumbang dengan pukulan tangannya, juga dari pengerukan batu-batu secara paksa dari dasar sungai, Sangkuriang mulai menumpuk, memahat, menyusun.
Kabut menjauh. Angin berhenti. Bahkan burung-burung pun tak berani berkicau.
Di atas, di rumah cahaya yang ditenun, Dayang Sumbi termenung. Ia bisa merasakan detak detik yang dipaksakan. Benang-benang fajar mulai kusut, seperti dipaksa melilit arah yang tidak ditentukan langit.
Ia mengambil kendi kecil berisi tetesan waktu yang paling jernih. Ia tuangkan ke tanah. Maka muncullah burung titu tutul. Ia terbang dan mengamati pekerjaan gila Sangkuriang.
“Parahu téh lain pikeun ngarebut wanci…” bisiknya pada angin.
(Perahu itu bukan untuk merebut waktu...)
Orang Tua Lembah berkumpul. Ki Jarwa Dipa mengangguk-angguk sambil menyentuh tanah dengan tongkat akar sambil berujar:
“Manéhna geus leungit arah. Nyieun perahu tina ngabaladah leuweung, Nyieun pamendet tina watu karuhun.” ungkap Ki Jarwa.
(Dia telah kehilangan arah. Membuat perahu dari membabad hutan, membuat bendungan dari batu leluhur.)
Nyi Endang Palay meniupkan seruling dari tulang daun:
“Hujan moal daék turun lamun walungan ditulak,” guman Nyi Endang Palay lirih.
(Hujan tak akan mau turun bila sungai dikunci.)
Si Panyileukan mencoret-coret tanah dengan ranting:
“Sasakala nu geus ditulis bakal direkahan. Tapi lamun panon poé dicabut tina langit, naon deui nu bakal jadi panumbu?,” nyanyinya.
(Sejarah yang telah tertulis akan terbelah. Tapi bila matahari dicabut dari langit, apa yang tersisa sebagai penghubung?)
Sangkuriang membendung sungai. Ia pukul dasar bumi. Air tercekik. Kabut naik ke pucuk pohon. Langit menghitam.
"Sagara ku kuring bakal dialihkeun, situ ku kuring bakal dijieun sorangan, parahu iyeu bakal ngambah daratan mangsa", katanya.
(Laut akan pindahkan, dan danau akan kuciptakan sendiri, perahu ini akan mengarungi daratan waktu)
Tenaga Sangkuriang bukan sekadar fisik. Ia kini mendapat bantuan dari bayangannya sendiri.
Dari setiap tetes keringatnya, muncul wujud-wujud kabur: makhluk-makhluk yang setia tapi bisu. Mereka menyusun batu, mereka menjahit tali raksasa, mereka membentuk layar dari kulit malam.
Dalam satu malam yang merenggang oleh kehendaknya, nyaris rampunglah segalanya. Bendungan berdiri. Air mulai mengumpul. Dan langit... bergidik.
Dayang Sumbi tahu, ini bukan sekadar pelanggaran terhadap waktu. Ini juga adalah pembelahan antara asal dan hasil, antara ibu dan anak, antara akar dan daun.
Ia meletakkan tenunannya, menatap ke langit timur, dan berkata:
“Pikeun malikkeun wanci, kudu aya pananda. lamun panon poé nyingsat saméméh waktuna, sagalana baris ruksak,” ujar Dayang Sumbi sendu.
(Untuk membalikkan waktu, harus ada penanda. Jika matahari terbit sebelum waktunya, segalanya akan hancur.)
Ia memanggil para burung, ia hembuskan angin, ia goyangkan pohon-pohon tua. Maka fajar pun datang lebih cepat.
Berbarengan dengan Dayang Sumbi bergerak, tiga manusia lembah berkumpul sejenak di bayang-bayang kabut. Ki Jarwa Dipa menatap Nyi Endang Palay dan Si Panyileukan, mengangguk.
“Leuweung, cai, jeung kawih kudu gerak bareng pikeun nahan anak seuneu,” katanya.
(Hutan, air dan lagu harus bergerak serentak untuk menahan anak api).
Mereka bergerak, masing-masing membawa kekuatan leluhur.
Ki Jarwa Dipa menancapkan tongkat akarnya ke tanah, dan bumi mengeluarkan suara mendesah, disertai aroma tanah purba yang menyengat. Akar-akar tua merangkak, membentuk dinding hidup yang menahan tumpukan batu Sangkuriang.
“Leuweung jeung watu ieu anu karuhun, anak seuneu. Anjeun moal bisa ngarabut akar jeung ngeruk batu lamun heunteu bari nyabut jiwana,” katanya.
(Hutan dan batu ini milik para lelehur wahai anak api. Kamu tak akan bisa mencabut akan dan mengeruk batu bila tidak dengan merampas jiwanya).
Sangkuriang menghantam akar-akar itu dengan batu dan membakarnya dengan bara, tapi setiap pukulan membuatnya semakin lelah, dan kabut semakin tebal di sekitarnya.
Nyi Endang Palay berdiri di tepi sungai, serulingnya mengalun seperti tangisan zaman. Air sungai bergolak, membentuk gelombang kecil yang menerjang bendungan Sangkuriang:
“Walungan lain milik anjeun, anak langit. Cai moal éléh ku seuneu,” nyanyinya.
(Sungai bukan milikmu, anak langit. Air takkan tunduk pada api)
Retakan membelah batu bendungan, dan air mulai merembes, mengguncang fondasi karya Sangkuriang. Dengan marah, ia memperkuat bendungan, tapi keringatnya kini bercampur dengan kabut air.
Si Panyileukan duduk di atas batu besar, menggambar lingkaran di tanah, dan menyanyikan lagu:
“Anak seuneu, anak seuneu, naha anjeun ngungudag kalangkang? Parahu anjeun moal balik, lamun asal anjeun teu kapanggih” teriaknya.
(Anak api, anak api, mengapa kau kejar bayangan? Perahumu takkan kembali, jika asalmu tak ditemukan).
Sangkuriang berhenti, matanya membara, dan berteriak:
“Tong ngomongkeun asal, budak! Kuring anu nyieun asal anyar!”, bentak Sangkuriang.
(Jangan membicarakan asal muasal, bocah)
Namun, suara Si Panyileukan terus bergema, dan bayang-bayang keraguan mulai merayap di dadanya, seolah bayang-bayang asal-usul yang tak ia kenal menekan napasnya. Sekilas, ia melihat kilatan wajah yang asing namun familiar di kabut, membuat jantungnya terhenti sejenak. Tangannya gemetar, dan satu batu jatuh dari genggamannya.
Akar-akar Ki Jarwa Dipa terus merangkak, memperlambat tumpukan batu Sangkuriang. Gelombang kecil Nyi Endang Palay melebar, merembes ke celah-celah bendungan. Lagu Si Panyileukan menggema, menyatu dalam kabut yang beraroma tanah purba, seolah alam dan leluhur bernyanyi bersama, membuat tangan Sangkuriang kian gemetar.
Air membanjiri Padang Karuhun. Tanah yang tadinya retak, kini tenggelam dalam genangan yang memantulkan langit. Perahu raksasa itu tenggelam separuh, terjebak di antara bebatuan dan pohon-pohon tumbang. Seolah-olah perahu itu hendak memaksa terus maju, tetapi waktu telah memerintahkan diam.
Sangkuriang terduduk di atas batu, tubuhnya penuh lumpur, matanya merah seperti sisa bara. Tangannya masih menggenggam palu kayu, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa dipukul.
“Kuring nyieun dunya pikeun balik,” geramnya lirih.
(Aku menciptakan dunia untuk pulang.)
“Tapi ieu dunya nolak kuring,”
(Tapi dunia ini menolak aku.)
Sinar mentari rekayasa waktu Dayang Sumbi terus merambat. Ketika sinar fajar pertama yang dipanggil Dayang Sumbi menyentuh bendungan, makhluk-makhluk kabur dari keringat Sangkuriang mulai memudar, tubuh mereka meleleh seperti bayang-bayang yang terbakar sinar matahari, hingga lenyap sepenuhnya. Retakan membelah batu, air berontak, menghantam dengan kekuatan zaman. Perahu itu berguncang, dan batu-batu runtuh.
Sangkuriang berteriak:
Can wancina! Kuring acan rengsé!”
(Belum waktunya! Aku belum selesai!)
Tapi waktu sudah memutuskan. Batu pecah. Air menghantam. Perahu besar menjulang seperti bentuk gunung terhempas. Air danau pun surut.
Langit menutup kembali. Kabut turun. Perahu itu tidak pernah kembali.
Dan di atas, Dayang Sumbi menangis. Bukan karena menang, tapi karena harus memutuskan garis yang ia rajut sendiri.
“Kuring lain indung nu tegel nyiksa anak. Tapi dunya iyeu teu bisa diwangun ku amarah.” katanya (Aku bukan ibu yang tega menyakiti anak. Tapi dunia ini tak bisa dibangun dengan amarah.)
Bersambung ke Bagian Ketiga (Selanjutnya)...
Intip kembali Bagian Kesatu (sebelumnya)...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI