Mohon tunggu...
Fajar Budhi Wibowo
Fajar Budhi Wibowo Mohon Tunggu... SinergiNews - Pusat Studi Budaya dan Sejarah Sanghyang Hawu - LSM KOMPAS (Koordinat Masyarat Pejuang Aspirasi

Jurnalistik, Seni Budaya, Sejarah, Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perahu yang Dilarang Kembali - Bagian II: Perahu, Bendungan dan Nafsu Menaklukkan - Trilogi Cerpen Alegori Kosmologi Sunda - Fajar Budhi Wibowo

10 Juli 2025   11:22 Diperbarui: 12 Juli 2025   01:09 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu yang Dilarang Kembali - Bagian II: Perahu, Bendungan dan Nafsu Menaklukkan - Trilogi Cerpen Alegori Kosmologi Sunda - Fajar Budhi Wibowo (Foto:

“Leuweung jeung watu ieu anu karuhun, anak seuneu. Anjeun moal bisa ngarabut akar jeung ngeruk batu lamun heunteu bari nyabut jiwana,” katanya.
 (Hutan dan batu ini milik para lelehur wahai anak api. Kamu tak akan bisa mencabut akan dan mengeruk batu bila tidak dengan merampas jiwanya).

Sangkuriang menghantam akar-akar itu dengan batu dan membakarnya dengan bara, tapi setiap pukulan membuatnya semakin lelah, dan kabut semakin tebal di sekitarnya.

Nyi Endang Palay berdiri di tepi sungai, serulingnya mengalun seperti tangisan zaman. Air sungai bergolak, membentuk gelombang kecil yang menerjang bendungan Sangkuriang:

“Walungan lain milik anjeun, anak langit. Cai moal éléh ku seuneu,” nyanyinya.
(Sungai bukan milikmu, anak langit. Air takkan tunduk pada api)

Retakan membelah batu bendungan, dan air mulai merembes, mengguncang fondasi karya Sangkuriang. Dengan marah, ia memperkuat bendungan, tapi keringatnya kini bercampur dengan kabut air.

Si Panyileukan duduk di atas batu besar, menggambar lingkaran di tanah, dan menyanyikan lagu:

“Anak seuneu, anak seuneu, naha anjeun ngungudag kalangkang? Parahu anjeun moal balik, lamun asal anjeun teu kapanggih” teriaknya.
(Anak api, anak api, mengapa kau kejar bayangan? Perahumu takkan kembali, jika asalmu tak ditemukan).

Sangkuriang berhenti, matanya membara, dan berteriak:

“Tong ngomongkeun asal, budak! Kuring anu nyieun asal anyar!”, bentak Sangkuriang.
(Jangan membicarakan asal muasal, bocah)

Namun, suara Si Panyileukan terus bergema, dan bayang-bayang keraguan mulai merayap di dadanya, seolah bayang-bayang asal-usul yang tak ia kenal menekan napasnya. Sekilas, ia melihat kilatan wajah yang asing namun familiar di kabut, membuat jantungnya terhenti sejenak. Tangannya gemetar, dan satu batu jatuh dari genggamannya.

Akar-akar Ki Jarwa Dipa terus merangkak, memperlambat tumpukan batu Sangkuriang. Gelombang kecil Nyi Endang Palay melebar, merembes ke celah-celah bendungan. Lagu Si Panyileukan menggema, menyatu dalam kabut yang beraroma tanah purba, seolah alam dan leluhur bernyanyi bersama, membuat tangan Sangkuriang kian gemetar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun