Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sertifikasi Pranikah, Berikan Otonomi kepada Setiap Agama Mengurusnya

19 November 2019   21:39 Diperbarui: 19 November 2019   22:01 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (stefanus.or.id)

Wacana kementerian PMK mewajibkan sertifikasi pranikah kepada para calon mempelai pada tahun 2020 mendapat respon beragam di kalangan masyarakat. 

Melalui tulisan ini, saya ingin membagikan apa yang selama ini diterapkan di Gereja Katolik dan dilema yang akan muncul, ketika NEGARA MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN MASING-MASING AGAMA MENGURUS RUMAH TANGGANYA.

Praksis Sertifikasi Pra-Nikah di Gereja Katolik

Sejak lama, Gereja Katolik merasa perlu adanya PENDAMPINGAN PRANIKAH bagi pasangan yang sudah siap menikah. Hal ini merupakan amanah dari Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang menjadi panduan hukum bagi umat Katolik di seluruh dunia, termasuk terkait Sakramen Perkawinan. Namun soal isi materi, metode, dan sistemnya tidak diatur dalam KHK dan dikembalikan kepada otonomi masing-masing negara, Konferensi Wali Gereja, Keuskupan atau Gereja Lokal karena kesadaran Gereja Universal akan perbedaan konteks setiap negara, keuskupan, dan paroki di dunia.

Kesadaran akan pentingnya pendampingan pranikah ini muncul dari ajaran tentang perkawinan Katolik yang monogami, takterceraikan kecuali oleh Allah melalui kematian salah satu pihak, kebersamaan seluruh hidup, dan nilai sakramentalitas sebuah perkawinan gerejani.

Tujuannya agar pasangan-pasangan yang mau menikah secara Katolik sungguh-sungguh dibekali agar paham tentang maksud dan tujuan perkawinan Kristiani serta semua konsekuensi logis yang menyertai kehidupan perkawinan setiap suami istri kristiani di masa depan. 

Pendampingan pranikah juga membantu calon mempelai Katolik mempersiapkan diri sebaik mungkin agar meminimalisir kasus perceraian dan pisah ranjang karena ajaran Yesus bahwa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.

Praksis pendampingan pranikah di Gereja Katolik Indonesia selama ini dilakukan melalui beberapa tahap.

Pertama, Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) atau Kursus Berumah Tangga. Secara teknis, KPP dilenggarakan dengan durasi waktu yang berbeda-beda untuk setiap Keuskupan di Indonesia bahkan berbeda untuk setiap paroki. 

Ada yang bisa dalam waktu 3 bulan, 2 bulan, 1 bulan, 3 hari, bahkan ada yang dilakukan dalam dua hari. Meskipun durasi waktu penyelenggaraan di masing-masing paroki dan keuskupan berbeda-beda, tetapi ada kesamaan tema/topik/bidang  yang wajib dibekali kepada para calon mempelai.

Umumnya materi yang disampaikan berupa: hukum dan moral perkawinan Katolik, sakramentalitas dan spiritualitas perkawinan, prosedur perkawinan, komunikasi suami-istri, seksualitas dan kesehatan reproduksi, psikologi, mempersiapkan kelahiran anak, kesehatan ibu dan anak, kesehatan keluarga, keluarga berencana alami, pendidikan iman dan moral anak, kitab suci dan liturgi, dan bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga. 

Setiap materi disampaikan oleh mereka yang paham dalam bidangnya. Karena itu, para pemateri terdiri dari pastor yang paham tentang ajaran perkawinan Katolik, dokter atau bidan yang paham tentang kesehatan (dinas kesehatan), psikolog, pasangan suami istri yang berpengalaman dalam KBA dan komunikasi suami-istri, serta yang paham atau berpengalaman dalam mengelolah ekonomi rumah tangga.

Biasanya pada akhir kursus persiapan perkawinan, kedua calon mempelai diberikan sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah mengikuti KPP. Sertifikat ini berlaku untuk jangka waktu enam bulan sejak diterbitkan.

Setelah calon mempelai mendapatkan sertifikat, mereka baru diperkenankan untuk menghubungi pastor parokinya masing-masing untuk mendapatkan pendampingan pribadi tahap kedua.

Kedua, penyelidikan kanonik. Tahap ini merupakan saat di mana setiap calon mempelai berjumpa secara personal dengan pastor paroki untuk mendalami apa yang sudah mereka pahami dalam KPP. 

Tujuan utamanya, agar otoritas Gereja Katolik mendapatkan kepastian disposisi batin, kebebasan, dan kesiapan mental calon mempelai untuk memasuki hidup perkawinan. Otoritas Gereja harus mendapatkan kepastian melalui penyelidikan kanonik tentang tidak adanya aneka halangan nikah dari kedua calon mempelai seperti yang telah diatur dalam Hukum Gereja.

Ketiga, pengumuman rencana pernikahan di paroki asal atau domisili dari masing-masing calon mempelai yang dilakukan selama tiga kali/tiga hari minggu sesudah perayaan Ekaristi. Tujuannya, agar umat Katolik yang mengetahui adanya halangan nikah dari kedua calon mempelai dapat menyampaikannya kepada otoritas gereja di mana perkawinan keduanya akan diselenggarakan. 

Pada tahap ini, otoritas gereja dalam hal ini pastor paroki yang akan meneguhkan perkawinan kedua calon mempelai mengadakan kunjungan pribadi ke rumah orang tua calon mempelai atau tempat tinggal dari kedua calon mempelai agar mendapatkan informasi tambahan yang meyakinkannya tentang kesiapan hati dan dukungan dari orang tua bagi pasangan yang akan menikah.

Jika ketiga tahap pendampingan ini terlewati, maka kedua mempelai bisa diizinkan untuk melaksanakan pernikahan di gereja di mana keduanya atau salah satunya berdomisili.

Demikianlah proses pendampingan pranikah yang umumnya dilakukan di gereja Katolik.

Apakah berdampak meminimalisir angka pisah ranjang dan perceraian dalam Gereja Katolik ketika semua tahap pendampingan itu ditempuh? Belum ada strudi dan data statistik yang pasti untuk menjawabanya.

Tepatkah semua Proses Pendampingan Pranikah atau Sertifikasi itu Dilakukan Negara?

Berkaca dari proses yang dilakukan oleh Gereja Katolik selama ini, maka kurang tepat negara mengambil alih otonomi setiap agama dalam mengurus pendampingan pranikah bagi pasangan yang akan menikah. 

Karena masing-masing agama memiliki ciri khas ajaran yang berbeda tentang perkawinan yang bisa saja ketika materi dan pematerinya DIURUS OLEH NEGARA, maka potensi PERTENTANGAN dengan ajaran agama tertentu dalam hal hukum dan moral perkawinan bisa saja terjadi.

Salah satu contoh: Gereja Katolik tidak setuju dengan program Keluarga Berencana Buatan (KBB) yang bertentangan dengan ajaran hukum dan moral Katolik. Biasanya materi tentang Keluarga Berencana, Gereja mengundang dokter/bidan yang paham tentang ajaran moral perkawinan Katolik, sehingga yang disampaikan sebagai materinya tidak sedikitpun menyinggung atau mempromosikan KBB tetapi KBA yang lebih sesuai dengan ajaran Katolik.

Selain itu, masih ada faktor teknis dan non teknis lainnya dalam penerapannya di lapangan yang harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena perbedaan konteks di masing-masing agama maupun wilayah di Indonesia.

Rekomendasi

Oleh karena itu, sebaiknya fungsi negara hanya membuat peraturan untuk MEWAJIBKAN agar setiap agama melakukan pembekalan bagi para calon mempelai dan menerbitkan sertifikat sebagai syarat mutlak mengurus perkawinannya. 

Perkara materi, pemateri, durasi waktu, metode,teknis pelaksanaan serta sertifikatnya dikembalikan kepada otonomi dan otoritas masing-masing agama di Indonesia dalam penerapannya.

"Keluarga solid, bangsa pun solid, karena keluarga melahirkan generasi penerus bangsa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun