Di laci meja, aku temukan gigimu
masih tersenyum walau kau sudah lama
meninggalkan napasmu di bantal yang
kubasuh tiap malam dengan doa patah.
Ah, kamu memang pandai bercanda:
meninggal di hari ulang tahunku,
pakai gaun putih tanpa bilang-bilang.
Aku sempat mengira kau hanya
bersembunyi di lemari, main petak-umpet
dengan detak jam dan aroma formalin.
Ternyata tidak.
Kau benar-benar serius kali ini.
Lebih serius dari janji pernikahanmu
yang dulu dibisikkan ke telingaku
di depan kasir toko fotokopi.
Kubayangkan kau sedang duduk
di halte akhirat makan gorengan,
ngobrol dengan para mantan,
dan menyebut namaku
dengan nada yang sudah tidak getir lagi.
Apa kau bahagia sekarang?
Punya tempat tidur abadi
tanpa cicilan,
tanpa harus mendengar keluhanku
tentang nasi yang gosong atau cinta yang dingin?
Aku di sini,
berteman dengan kenangan
yang suka menyelinap ke dapur
dan menjerang air mata diam-diam.
Kematianmu begitu artistik,
seolah Tuhan menyutradarai tragedi ini
dengan selera humor yang
sangat...
sangat...
kejam.
Tapi tak apa.
Aku tetap menulis surat padamu.
Menitipkannya lewat tukang pos
yang juga sudah mati
barangkali mereka punya jaringan khusus
di langit.
Dan kalau suratku sampai,
tolong balas.
Tapi jangan lewat mimpi.
Aku sedang malas tidur.
Sudah terlalu banyak kehilangan
yang bersembunyi di bawah bantal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI