Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Rojali: Ramainya Mal, Sepinya Keranjang Belanja

28 Juli 2025   11:30 Diperbarui: 11 Agustus 2025   13:44 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pengunjung duduk sendiri di food court mal—hadir di tengah keramaian tanpa belanja, mencari tenang, bukan transaksi. (Pexels)

Fenomena "Rombongan Jarang Beli" dan Arti Kehadiran di Ruang Publik Modern

Rojali di Tengah Gemerlap Mal: Fenomena Sosial yang Dekat dan Nyata

Aku sering bertanya-tanya, kenapa mal selalu penuh tapi pintu keluar sepi dari orang yang menenteng belanjaan? Mereka datang berbondong-bondong, tapi pulang dengan tangan kosong. Seperti pesta tanpa kado. Seperti keramaian yang menyembunyikan kehampaan.

Dari lantai tiga sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota, aku pernah duduk sendirian. Di meja kecil pojokan, dengan kopi yang tak lagi panas dan buku yang tak benar-benar kubaca. Di bawah sana, lautan manusia lalu lalang. Ada yang tertawa, ada yang menyusuri etalase, ada yang berdiri lama di depan toko lalu pergi begitu saja.

Mereka bukan pencuri, tentu. Tapi mereka juga bukan pembeli. Mereka hanya... hadir. Seperti bayangan. Seperti pengunjung museum: banyak melihat, banyak bertanya, tapi tak membawa pulang apa-apa. Mereka adalah bagian dari fenomena rojali: rombongan jarang beli.

"Kadang kita tidak mencari barang, tapi kelegaan."

Mal sebagai Ruang Nafas Modern

Dulu aku pikir, orang pergi ke mal itu untuk belanja. Titik. Tapi ternyata, tidak sesederhana itu. Mal sekarang bukan lagi sekadar tempat jual beli. Ia telah berubah menjadi ruang publik yang (ironisnya) dikelilingi merek-merek mahal.

Buat sebagian orang, mal adalah tempat ngadem saat cuaca terlalu panas untuk ditahan. Buat yang lain, mal jadi pelarian saat kesepian di rumah terasa lebih menusuk. Ada yang datang untuk melihat dunia, bukan karena ingin membeli, tapi karena butuh rasa hidup.

Banyak pengunjung kini lebih mengutamakan pengalaman, hiburan, dan interaksi sosial saat mengunjungi mal, ketimbang bertransaksi langsung di toko-toko. Hal ini tercermin dari meningkatnya area food court, playground, dan spot-spot selfie di berbagai pusat perbelanjaan.

Aku sendiri pernah jadi bagian dari fenomena Rojali. Datang ke mal hanya untuk jalan tanpa tujuan, duduk tanpa rencana, melihat-lihat barang tanpa niat membeli. Dan jujur saja, itu bukan pengalaman yang buruk. Justru ada kenyamanan dalam menjadi bagian dari keramaian tanpa harus ikut membeli.

Apa yang Sebenarnya Dicari Rojali?

Mungkin bukan baju, sepatu, atau gadget. Tapi rasa.

Orang-orang datang ke mal mencari rasa yang tak bisa mereka beli di toko. Rasa dilihat. Rasa terhubung. Rasa tidak sendirian. Mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu meski hanya kerumunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun