Saya masih mengingat betul perasaan miris yang menyeruak saat pertama kali membaca berita itu. Seorang remaja tewas dalam duel maut di Cianjur bukan karena konflik berkepanjangan, bukan pula karena tawuran massal antarsekolah. Ini duel satu lawan satu. Disepakati. Disaksikan. Direkam. Oleh teman-temannya sendiri. (Kompas.com - 25/07/2025)
Setelah menutup artikel itu, saya termenung lama. Ada yang rusak di tengah kita. Sesuatu yang tak kasat mata, namun mengakar dan membusuk pelan-pelan: budaya kekerasan yang dibungkus gengsi dan adu nyali, dan betapa normalnya semua itu di mata anak-anak zaman ini.
Gengsi yang Salah Arah
Remaja itu masih duduk di bangku MTs. Lawannya dari SMP lain. Keduanya bertarung karena saling ejek di media sosial. Pertanyaannya: mengapa ejekan bisa berujung pada kematian?
Jawaban pahitnya adalah: gengsi. Hasrat besar dalam diri remaja untuk diakui, dianggap kuat, ditakuti, atau setidaknya tidak dipermalukan. Di usia rapuh yang sedang mencari jati diri, penghinaan kecil bisa terasa seperti luka besar.
Sayangnya, kebutuhan akan pengakuan itu diarahkan ke jalur yang keliru. Mereka merasa harga diri hanya bisa dibuktikan lewat kekuatan fisik. Lewat duel. Lewat darah.
Dan yang lebih menyakitkan: mereka tidak sendirian. Teman-temannya menonton, merekam, menyebarkan video. Semua ikut andil. Semua membiarkan.
"Motifnya ingin membuktikan siapa yang paling hebat, siapa yang lebih jago,” - AKP Tono Listanto
Medsos: Medan Tempur Baru
Media sosial, yang semestinya menjadi ruang ekspresi, kini berubah menjadi ladang pertempuran ego dan eksistensi. Anak-anak kita tumbuh dalam ekosistem digital yang kadang lebih bising dari dunia nyata. Satu komentar bisa menyalakan api konflik. Satu ejekan bisa mencoreng harga diri.
Saya bisa memahami tekanan itu. Di dunia maya, remaja tidak ingin terlihat lemah. Bahkan, banyak dari mereka mengukur harga diri lewat jumlah likes, komentar, dan validasi digital. Maka ketika dihina di media sosial, mereka merasa harus membalas di dunia nyata dengan aksi fisik.
Dan ketika duel itu terjadi, justru direkam, diunggah, lalu diviralkan. Seolah kematian adalah konten. Seolah nyawa hanya tontonan.
Ketika Kekerasan Dinormalisasi
Saya bertanya dalam hati: Dari mana mereka belajar bahwa duel adalah solusi? Bahwa kekerasan adalah jalan keluar? Bahwa adu otot lebih dihargai daripada adu pikir?