Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Amarah Mengalahkan Akal Sehat: Refleksi atas Kekerasan dalam Rumah Tangga

25 Juli 2025   07:23 Diperbarui: 25 Juli 2025   07:23 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak kecil memeluk lutut di pojok ruangan, simbol ketakutan dan kesepian akibat kekerasan dalam rumah tangga. (Pexels)

Apa jadinya ketika rumah bukan lagi tempat aman, dan orang tua justru menjadi sumber luka? Tulisan ini bukan sekadar opini, tapi seruan hati: kekerasan dalam rumah tangga harus dihentikan sekarang juga.

Saya masih terdiam lama usai membaca berita itu: seorang ayah di Demak, diliputi kecemburuan membabi buta kepada istrinya, memaksa anak kandungnya meminum air kloset. Alasannya? Karena sang anak dianggap "lebih membela ibunya." (Kompas.com - 25/07/2025)

Saya menutup layar ponsel dengan hati berat. Di kepala saya, membayang wajah anak itu entah siapa, entah dari keluarga seperti apa. Tapi rasanya saya mengenalnya. Dari luka yang membisu, dari trauma yang tak sempat dimengerti apalagi dibela.

Karena sering kali, dalam rumah yang tampak utuh dari luar, tersimpan kekerasan yang sunyi. Dan di tengahnya, anak-anak menjadi korban tanpa suara, tanpa perlindungan.

Ketika Anak Menjadi Medan Pelampiasan

Ini bukan sekadar kisah kriminal yang selesai dengan hukuman penjara. Ini adalah alarm kemanusiaan. Ketika orang tua yang seharusnya menjadi pelindung utama justru menjadi sumber teror, kita perlu bertanya: apa yang salah dari cara kita memaknai cinta dan otoritas?

Satu gelas air kloset bukan sekadar simbol penghinaan. Ia adalah puncak dari runtuhnya akal sehat dan matinya nurani. Ia menelanjangi betapa tipisnya batas antara kasih dan kuasa. Ketika rasa memiliki berubah menjadi rasa menguasai, maka anak bukan lagi pribadi, tapi objek pelampiasan emosi yang tak terselesaikan.

Dan ini bukan kisah tunggal. Kita hidup dalam masyarakat yang diam-diam membiarkan kekerasan sebagai metode pengasuhan. Terkadang dengan dalih "mendidik," terkadang demi mempertahankan otoritas. Padahal anak-anak hanya ingin dipahami, bukan ditaklukkan.

Saya bertanya dalam hati: bagaimana anak itu akan memandang dunia esok hari? Apakah ia akan mampu tersenyum lepas di taman bermain? Atau justru setiap suara keras akan membuatnya gemetar? Apakah luka itu akan disembuhkan dengan terapi, atau justru membusuk dalam diam?

Kekerasan dalam Rumah: Sunyi yang Tak Terdengar

Rumah semestinya menjadi tempat paling aman di dunia. Tempat anak bertumbuh dengan cinta, belajar dengan tenang, dan merasa dilindungi. Namun bagi sebagian anak, rumah justru menjadi ladang ketakutan tempat di mana luka dibungkus keheningan dan air mata ditelan diam-diam.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagaiama dilansir dalam Tirto, mayoritas kekerasan terhadap anak justru terjadi di dalam keluarga, dan pelakunya adalah orang tua sendiri. Dalam laporan tahun 2023, 262 kasus kekerasan dilakukan oleh ayah kandung, dan 153 kasus oleh ibu kandung. (Sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun