Setiap tahun, perundungan di sekolah kembali terjadi. Kasus WV di Blitar membuka luka lama: saat sekolah gagal jadi tempat aman bagi anak-anak kita.
Awal yang Pahit: Ketika MPLS Menjadi Mimpi Buruk
Saya membaca berita itu dengan dada sesak. Seorang anak berinisial WV, usia 12 tahun, menjadi korban pengeroyokan oleh sekitar 20 siswa seniornya di SMP Negeri 3 Doko, Blitar, Jawa Timur. Peristiwa itu terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) momen yang seharusnya hangat dan menyambut bagi siswa baru.
Namun kenyataannya sangat berbeda. WV ditarik ke belakang kamar mandi, dilecehkan secara verbal, lalu dipukuli hingga trauma. Lebih menyakitkan lagi, ia diancam agar tidak melapor. Dan seperti kasus-kasus sebelumnya, semuanya mencuat ke publik setelah ada yang merekam. (Kompas.com - 23/07/2025)
Berita semacam ini terasa seperti dejavu. Setiap tahun, pola yang sama terulang: korban ketakutan, pelaku dibiarkan, sekolah bersikap defensif, dan publik marah sesaat. Tapi setelah viral reda, semuanya kembali seperti semula. Seolah-olah tidak pernah ada yang belajar dari luka sebelumnya.
WV bisa jadi anak siapa pun dari kita. Dan ini bukan hanya tentang Blitar, ini tentang Indonesia.
Mengapa Bullying Masih Terjadi di Sekolah?
Masalah ini tidak sesederhana anak jahat menyiksa anak baik. Ia tumbuh dari akar yang dalam dan sistem yang membiarkannya berakar. Yang kita hadapi adalah kegagalan sistemik yang berulang dan nyaris menjadi budaya diam-diam.
a. Tidak Ada Kontrak Sosial yang Tegas
Dalam penelitian “Membangun kesepakatan orang tua dan guru tentang cara pendisiplinan siswa di sekolah” (2020), disebutkan:“Kesepakatan orang tua dan guru dibangun melalui tiga tahapan negosiasi … Kesepakatan … memuat prosedur atau perjanjian beserta konsekuensinya”
Lebih lanjut penelitian tersebut menjelaskan Pentingnya menyusun perjanjian tertulis yang mencakup jenis pelanggaran dan sanksi, termasuk tindakan tegas seperti skorsing atau pendisiplinan berat, jika siswa terbukti melakukan kekerasan . Proses pembuatan dilakukan bersama (guru dan orang tua), dan konsekuensinya harus tercantum jelas mulai dari peringatan hingga dikeluarkannya sanksi dari sekolah
Ini bukan soal kekejaman, tapi menciptakan efek jera yang proporsional dalam koridor sistem hukum. Aturan tanpa sanksi hanyalah formalitas yang akan dilanggar diam-diam.
b. Efek Jera Hukum yang Masih Lemah
Sering kali, alasan "perlindungan anak" justru digunakan untuk melindungi pelaku dari konsekuensi hukum. Padahal, perundungan adalah bentuk kekerasan yang berdampak panjang terhadap perkembangan mental dan sosial korban.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sekitar 60 persen kasus bunuh diri pada anak berkaitan dengan perundungan, yang menunjukkan betapa serius dan fatal dampaknya terhadap kesehatan mental dan keselamatan jiwa anak-anak (Kompas.id, 2023).
Sayangnya, lembaga pendidikan sering kali ragu bertindak karena takut nama baik sekolah tercoreng. Namun, jika pelaku merasa aman dari sanksi, kekerasan serupa sangat mungkin akan terus berulang menciptakan siklus perundungan yang tak pernah selesai.
c. Pendidikan Moral yang Tidak Menyentuh Hati
Pelajaran agama, PKN, dan pendidikan karakter diajarkan secara formal, tapi sering gagal menyentuh inti: belas kasih dan empati. Banyak pelaku kekerasan justru merupakan siswa dengan nilai akademik baik, tapi tanpa kepekaan sosial.
Ini menunjukkan bahwa pendidikan kita masih lebih menekankan hafalan daripada penghayatan nilai kemanusiaan.
d. Budaya Digital yang Menormalisasi Kekerasan
Media sosial penuh dengan kekerasan verbal, ejekan, dan konten prank yang merendahkan. Anak-anak tumbuh di lingkungan digital yang menjadikan kekerasan sebagai hiburan. Mereka belajar bahwa merundung itu lucu, direkam, ditonton, lalu dilupakan.
Ini bukan hanya masalah daring, tapi masalah karakter.
e. Guru Tidak Menjadi Teladan, atau Justru Diam
Ironisnya, dalam beberapa kasus, guru justru ikut terlibat atau memilih diam. Padahal guru seharusnya menjadi penjaga nilai, bukan penonton pasif. Kementerian Pendidikan perlu melakukan audit terhadap sistem rekrutmen dan pembinaan guru.
Keteladanan tidak lahir dari gelar akademik, tapi dari keberanian berdiri di pihak yang benar.
f. Sekolah yang Indah di Atas Kertas
Banyak sekolah yang terlihat hebat dalam angka dan laporan: nilai tinggi, prestasi akademik bagus. Namun di balik itu, tersimpan budaya kekerasan, senioritas, dan diskriminasi yang tidak pernah diaudit secara mendalam.
Kepala sekolah lebih sibuk dengan akreditasi daripada kesejahteraan psikologis siswa.
Luka Psikologis: Dampak yang Tak Terlihat, Tapi Membekas
WV bukan sekadar korban kekerasan fisik. Ia adalah korban dari sistem yang gagal melindunginya. Bayangkan menjadi anak 12 tahun yang dikeroyok oleh 20 orang. Dipukul, dihina, lalu diancam agar bungkam. Apa yang tersisa dari rasa aman dan percaya dirinya?
Trauma psikologis sering kali lebih menyakitkan daripada luka fisik. Banyak anak yang tampak baik-baik saja, tapi menyimpan ketakutan, malu, bahkan keinginan untuk berhenti sekolah. Tak sedikit dari mereka yang memilih diam karena merasa tidak ada yang berpihak.
Menurut laporan UNICEF 2022 (melalui data dari National Assessment Kemendikbud), sekitar 36% siswa Indonesia menghadapi risiko perundungan di sekolah, yang secara ekuivalen dapat dipahami sebagai satu dari tiga siswa. Banyak di antara mereka bahkan tidak tahu harus mengadu ke siapa karena minimnya saluran pengaduan yang efektif di lingkungan sekolah dan keluarga. (Sumber)
WV hanyalah satu dari sekian banyak korban yang tidak sempat terekam kamera dan tidak viral.