Saya masih ingat wajah anak saya ketika pertama kali bisa menggulir layar TikTok. Matanya berbinar. Ia tertawa melihat video lucu, kagum pada eksperimen sains sederhana, dan takjub dengan cuplikan film animasi. Saya pun senang anak saya tampak senang.
Tapi, makin lama saya mengamati, ada sesuatu yang berubah.
Ia tak lagi betah mendengarkan dongeng hingga akhir. Ia mulai sering memotong pembicaraan, kehilangan ketertarikan ketika saya bercerita, atau cepat gelisah saat diminta membaca buku. Film kartun berdurasi 20 menit pun ia tonton dengan jari di tombol forward.
Saya sempat menyalahkan diri: mungkin saya kurang menarik. Tapi kemudian saya sadar, mungkin ini bukan soal saya. Mungkin ini soal kebiasaan yang kita anggap sepele: terlalu sering menonton video berdurasi pendek.
Ledakan Cepat yang Diam-Diam Mengubah Otak Anak
Video pendek adalah kemewahan baru dalam dunia parenting digital. Mereka bisa membuat anak tenang dalam hitungan detik. Di ruang tunggu dokter, saat kita memasak, atau ketika anak menangis tanpa sebab cukup beri mereka satu video lucu, maka dunia terasa damai kembali.
Tapi damai itu semu.
Video berdurasi 15 - 60 detik memberi rangsangan visual dan audio yang cepat, berulang, dan intens. Otak anak, yang masih berkembang, akan menyerap ritme itu sebagai standar baru dalam menerima informasi.
Mereka terbiasa mendapat kepuasan tanpa proses. Senang tanpa usaha. Terhibur tanpa berpikir.
Dan dari sinilah pelan-pelan kemampuan fokus mereka mulai terkikis.
Riset Serius, Ancaman Nyata
Sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Communications dan dikutip oleh Technical University of Denmark (DTU) menunjukkan bahwa waktu perhatian kolektif manusia terus menyusut.Â