Tahun pelajaran lalu, saya duduk sendiri di sudut ruang guru. Di tangan saya ada selembar kertas tugas yang sudah berkali-kali saya koreksi. Ada coretan merah. Ada komentar. Ada harapan yang saya sematkan lewat kalimat-kalimat pendek.
Tapi, dari semua tugas yang saya baca, ada satu yang membuat saya terdiam cukup lama. Bukan karena nilainya tinggi. Bukan juga karena bahasanya istimewa.
Melainkan karena isinya seperti menampar saya pelan-pelan. Sopan. Tulus. Tapi dalam.
"Pak, kadang saya merasa sekolah ini terlalu ribut untuk mendengar anak seperti saya."
Kalimat itu ada di bagian akhir esai berjudul Mimpi dan Masa Depan. Tanpa nama. Tanpa identitas. Seolah hanya ingin dituliskan, bukan dikenali.
Tapi dampaknya tidak kecil. Ada sesuatu yang mengendap lama di dada saya sejak hari itu.
Apa yang Tak Pernah Kita Dengar dari Anak Didik Kita?
Saya pikir saya sudah cukup sering mendengar mereka.
Di kelas. Di luar kelas. Saat mengisi absensi. Atau sekadar ngobrol soal nilai matematika yang menurun.
Tapi ternyata, mendengar bukan cuma soal telinga.
Mendengar juga soal diam. Dan saya belum benar-benar belajar diam.