Dari sisi lain, saya juga bertanya: apakah mal-mal itu sendiri bahagia? Toko-toko sepi, pegawai hanya berdiri mematung. Senyum mereka tampak lelah. Kadang saya merasa bersalah hanya lewat di depan toko tanpa mampir.
Bagi pemilik bisnis, fenomena Rojali bisa jadi dilema. Mereka mengharapkan pembeli, bukan pelancong. Tapi di zaman sekarang, harapan sering harus berdamai dengan kenyataan.
“Barangkali, kebanyakan orang tidak membutuhkan ruang yang menonjol, atau yang membuat mereka menonjolkan diri agar diperhatikan oleh siapa pun yang bekerja di antara mereka...” tulis Octavia Hill, reformis sosial Inggris yang gigih memperjuangkan hak warga atas ruang terbuka yang layak.
Dengan empati yang tajam, ia bertanya, “Bagaimana cara terbaik untuk memberikannya? Dan apa tepatnya yang seharusnya diberikan?” Lalu ia menjawab dengan sangat sederhana sekaligus menyentuh:
“Saya pikir kita menginginkan empat hal: tempat untuk duduk, tempat untuk bermain, tempat untuk berjalan-jalan, dan tempat untuk menghabiskan waktu seharian.”- Octavia Hill
Yang dibutuhkan bukanlah kemewahan, melainkan kesempatan untuk bernapas, bersosialisasi, dan merasa hidup di tengah kota yang padat dan bergerak cepat. Kota yang manusiawi, bukan hanya fungsional.
Mungkin perlu kita pertanyakan ulang: apakah kita membangun pusat perbelanjaan untuk transaksi, atau juga untuk interaksi? Apakah setiap kunjungan harus menghasilkan angka? Atau bolehkah cukup jadi ruang bernapas?
Refleksi Pribadi Saya dan Mal
Saya tidak sering ke mal. Tapi saat pergi, saya menikmatinya dengan ritme pelan. Kadang saya hanya ingin duduk di bangku lorong, memperhatikan orang lewat. Mencoba menebak kisah mereka.
Ada sepasang kekasih yang tampak baru jadian. Duduk saling canggung, tapi bahagia. Ada anak kecil berlari sambil memegang es krim, lalu jatuh dan menangis. Ada kakek yang berjalan perlahan sambil menggandeng cucunya. Semua itu lebih menyentuh dari barang diskon 70%.
Saya pernah pergi ke mal hanya untuk beli roti, tapi akhirnya pulang dengan kepala yang lebih ringan. Bukan karena belanja, tapi karena saya menemukan ketenangan di tengah hiruk pikuk.
Penutup: Biarkan Mereka Hadir, Tanpa Harus Membeli
Tanpa sadar, kita semua pernah jadi bagian dari fenomena Rojali. Datang ke tempat ramai, tapi hanya jadi pengamat. Kita masuk ke ruang-ruang yang penuh janji, tapi pulang hanya dengan kenangan.
Dan itu tidak apa-apa.
"Kadang yang kita bawa pulang bukan barang, tapi waktu untuk merasa manusia."