Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Rojali: Ramainya Mal, Sepinya Keranjang Belanja

28 Juli 2025   11:30 Diperbarui: 11 Agustus 2025   13:44 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pengunjung duduk sendiri di food court mal—hadir di tengah keramaian tanpa belanja, mencari tenang, bukan transaksi. (Pexels)

Dari sisi lain, saya juga bertanya: apakah mal-mal itu sendiri bahagia? Toko-toko sepi, pegawai hanya berdiri mematung. Senyum mereka tampak lelah. Kadang saya merasa bersalah hanya lewat di depan toko tanpa mampir.

Bagi pemilik bisnis, fenomena Rojali bisa jadi dilema. Mereka mengharapkan pembeli, bukan pelancong. Tapi di zaman sekarang, harapan sering harus berdamai dengan kenyataan.

“Barangkali, kebanyakan orang tidak membutuhkan ruang yang menonjol, atau yang membuat mereka menonjolkan diri agar diperhatikan oleh siapa pun yang bekerja di antara mereka...” tulis Octavia Hill, reformis sosial Inggris yang gigih memperjuangkan hak warga atas ruang terbuka yang layak.

Dengan empati yang tajam, ia bertanya, “Bagaimana cara terbaik untuk memberikannya? Dan apa tepatnya yang seharusnya diberikan?” Lalu ia menjawab dengan sangat sederhana sekaligus menyentuh:

“Saya pikir kita menginginkan empat hal: tempat untuk duduk, tempat untuk bermain, tempat untuk berjalan-jalan, dan tempat untuk menghabiskan waktu seharian.”- Octavia Hill

Yang dibutuhkan bukanlah kemewahan, melainkan kesempatan untuk bernapas, bersosialisasi, dan merasa hidup di tengah kota yang padat dan bergerak cepat. Kota yang manusiawi, bukan hanya fungsional.

Mungkin perlu kita pertanyakan ulang: apakah kita membangun pusat perbelanjaan untuk transaksi, atau juga untuk interaksi? Apakah setiap kunjungan harus menghasilkan angka? Atau bolehkah cukup jadi ruang bernapas?

Refleksi Pribadi Saya dan Mal

Saya tidak sering ke mal. Tapi saat pergi, saya menikmatinya dengan ritme pelan. Kadang saya hanya ingin duduk di bangku lorong, memperhatikan orang lewat. Mencoba menebak kisah mereka.

Ada sepasang kekasih yang tampak baru jadian. Duduk saling canggung, tapi bahagia. Ada anak kecil berlari sambil memegang es krim, lalu jatuh dan menangis. Ada kakek yang berjalan perlahan sambil menggandeng cucunya. Semua itu lebih menyentuh dari barang diskon 70%.

Saya pernah pergi ke mal hanya untuk beli roti, tapi akhirnya pulang dengan kepala yang lebih ringan. Bukan karena belanja, tapi karena saya menemukan ketenangan di tengah hiruk pikuk.

Penutup: Biarkan Mereka Hadir, Tanpa Harus Membeli

Tanpa sadar, kita semua pernah jadi bagian dari fenomena Rojali. Datang ke tempat ramai, tapi hanya jadi pengamat. Kita masuk ke ruang-ruang yang penuh janji, tapi pulang hanya dengan kenangan.

Dan itu tidak apa-apa.

"Kadang yang kita bawa pulang bukan barang, tapi waktu untuk merasa manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun