Perfeksionisme pun kerap mengambil peran. Saya menginginkan hasil yang sempurna. Kalimat  yang indah, tertata rapi, dan mampu membuat orang terkesan. Namun kenyataannya, pikiran itu tidak selalu tersusun seindah itu sejak awal. Jika saya terus menunggu sampai semuanya terasa "sempurna", maka bisa jadi saya tidak pernah mengungkapkan apa pun.
2. Faktor Emosional: Ketika Perasaan Membungkam Kata
Emosi juga memiliki andil besar dalam proses mengungkapkan pikiran. Ada kalanya saat saya merasa sedih, marah, atau bahkan terlalu bahagia, justru saya merasa sulit berkata-kata. Perasaan yang menggebu-gebu bisa jadi terlalu padat untuk diterjemahkan dalam bentuk kata. Saya tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan, namun kata-kata seakan tak sanggup mewakilinya.
Di sisi lain, ada juga momen ketika saya merasa hampa. Saya ingin berbicara, ingin menulis, namun tidak tahu dari mana harus memulai. Segalanya terasa kosong. Dalam situasi seperti ini, saya menyadari bahwa saya belum benar-benar memahami isi batin saya sendiri. Mungkin, saya sedang membutuhkan ruang untuk mendengar diri saya terlebih dahulu, sebelum dapat menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
3. Faktor Lingkungan: Ketika Sekitar Tidak Memberi Ruang
Lingkungan yang tidak ramah terhadap ekspresi pikiran juga bisa membuat saya enggan untuk berbicara. Ada kalanya saya merasa tumbuh di ruang yang cepat menghakimi, atau terlalu sempit dengan batasan norma dan penilaian. Lama-kelamaan, saya pun terbiasa menyimpan ide, membungkam opini, dan menunda-nunda pertanyaan yang sebenarnya ingin sekali saya ajukan.
Terlebih jika saya pernah mengalami momen ketika ungkapan saya disalahpahami, ditertawakan, atau bahkan dianggap "berlebihan." Trauma kecil seperti ini bisa menancap cukup dalam dan membuat saya bertanya-tanya, "Masih amankah jika kali ini saya bicara jujur?"
Saya pun akhirnya menyadari: kesulitan mengungkapkan pikiran bukanlah tanda kelemahan. Ini adalah cerminan dari betapa rumitnya hubungan antara pikiran, perasaan, dan dunia di sekitar saya. Namun, ada satu hal yang melegakan---bahwa semua ini dapat dilatih. Dihadapi secara perlahan. Dan bahkan, pada waktunya, diubah menjadi kekuatan.
Lalu, Bagaimana Cara Mengatasinya?
Setelah menyadari bahwa mengungkapkan isi pikiran tidak selalu mudah, saya mulai mencari cara agar proses ini menjadi lebih ringan. Tidak instan, tentu saja. Tapi setidaknya, saya bisa mulai dari langkah kecil, sambil terus belajar memahami diri sendiri.
Langkah 1: Sadari dan Akui Bahwa Saya Sedang Kesulitan
Langkah pertama yang sering kali saya lupakan adalah mengakui bahwa saya memang sedang kesulitan. Bukan berarti saya lemah, apalagi berlebihan. Justru dengan menyadari dan mengakui, "Saya sedang kesulitan menyampaikan isi pikiran saya," saya memberi diri saya sendiri titik awal. Sebuah  pijakan. Sebab, saya tidak akan bisa menemukan jalan keluar jika saya tidak tahu bahwa saya sedang tersesat.
Langkah 2: Mulai dari Hal Kecil---Sangat Kecil
Saya tidak harus langsung menulis esai panjang atau berbicara di depan banyak orang. Saya bisa mulai dari satu kalimat sederhana:
"Hari ini saya merasa..."
"Saya ingin mengatakan sesuatu, tapi belum tahu bagaimana caranya."
Bisa dalam bentuk catatan di ponsel, rekaman suara untuk diri sendiri, atau bahkan sekadar status singkat di media sosial. Tidak perlu bagus, tidak perlu sempurna. Yang penting, keluar dulu. Karena semakin sering saya memberi ruang untuk menyuarakan isi hati dan pikiran, sekecil apa pun, saya sedang membentuk sebuah kebiasaan..