Saya sering kali merasa bahwa isi kepala ini penuh oleh ide, pemikiran, dan perasaan. Namun  ketika ingin menyampaikannya, baik secara lisan maupun tulisan, justru terasa begitu sulit. Rasanya ada begitu banyak hal yang ingin saya ungkapkan, tetapi mulut seolah terkunci, dan tangan pun bingung harus mulai dari mana.
Tak jarang, saat saya hendak menulis sesuatu yang penting, saya justru terjebak di paragraf pertama. Atau ketika sedang berdiskusi, niat saya untuk menyampaikan pendapat mendadak hilang, tergantikan oleh rasa takut. Takut salah bicara, takut disalahpahami, atau bahkan takut tidak didengarkan sama sekali.
Semakin saya berusaha memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan isi pikiran, semakin terasa buntu. Dan itu membuat saya bertanya-tanya: mengapa hal ini bisa begitu sering terjadi? Apakah karena tekanan dari dalam diri sendiri, emosi yang belum selesai, atau justru karena pengaruh lingkungan yang membuat saya tidak merasa aman untuk berbicara?
Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui, terutama ketika saya menyadari bahwa saya tidak sendirian. Banyak orang juga mengalami hal serupa. Kesulitan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan pikirkan. Hal itu membuat saya percaya bahwa ini adalah persoalan yang lebih dalam daripada sekadar ketidakmampuan merangkai kata.
Lalu saya pun mulai mencari tahu: apakah kesulitan ini bisa diatasi? Apakah kita bisa melatih diri untuk lebih lancar dan jujur dalam mengungkapkan isi pikiran?
Mengapa Kita Sering Sulit Mengungkapkan Isi Pikiran?
Sesungguhnya, isi kepala kita itu sangat kaya. Bahkan, terkadang terlalu kaya, hingga saya sendiri sering kali bingung harus mulai dari mana. Namun, saya menyadari bahwa kesulitan dalam mengungkapkan pikiran bukan semata-mata karena saya tidak tahu apa yang ingin disampaikan. Ada sejumlah faktor yang lebih dalam, yang barangkali selama ini tidak begitu saya sadari.
1. Faktor Psikologis: Terjebak di Kepala Sendiri
Saya menyadari bahwa salah satu penyebab utama datang dari dalam diri saya sendiri. Sering kali saya terlalu banyak berpikir. Atau dengan kata lain, overthinking. Sebelum saya mulai berbicara atau menulis, kepala saya sudah dipenuhi pertanyaan-pertanyaan seperti:
"Kalau saya menyampaikan hal ini, apakah orang lain akan setuju?"
"Kalau tulisan saya seperti ini, adakah yang akan tersinggung?"
Alih-alih mengalirkan pikiran, saya justru sibuk menyensor dan menyuntingnya di dalam kepala. Akibatnya, saya tidak jadi berbicara apa pun. Pikiran saya terperangkap oleh keinginan untuk terlihat tepat dan diterima.
Perfeksionisme pun kerap mengambil peran. Saya menginginkan hasil yang sempurna. Kalimat  yang indah, tertata rapi, dan mampu membuat orang terkesan. Namun kenyataannya, pikiran itu tidak selalu tersusun seindah itu sejak awal. Jika saya terus menunggu sampai semuanya terasa "sempurna", maka bisa jadi saya tidak pernah mengungkapkan apa pun.
2. Faktor Emosional: Ketika Perasaan Membungkam Kata
Emosi juga memiliki andil besar dalam proses mengungkapkan pikiran. Ada kalanya saat saya merasa sedih, marah, atau bahkan terlalu bahagia, justru saya merasa sulit berkata-kata. Perasaan yang menggebu-gebu bisa jadi terlalu padat untuk diterjemahkan dalam bentuk kata. Saya tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan, namun kata-kata seakan tak sanggup mewakilinya.
Di sisi lain, ada juga momen ketika saya merasa hampa. Saya ingin berbicara, ingin menulis, namun tidak tahu dari mana harus memulai. Segalanya terasa kosong. Dalam situasi seperti ini, saya menyadari bahwa saya belum benar-benar memahami isi batin saya sendiri. Mungkin, saya sedang membutuhkan ruang untuk mendengar diri saya terlebih dahulu, sebelum dapat menyampaikan sesuatu kepada orang lain.
3. Faktor Lingkungan: Ketika Sekitar Tidak Memberi Ruang
Lingkungan yang tidak ramah terhadap ekspresi pikiran juga bisa membuat saya enggan untuk berbicara. Ada kalanya saya merasa tumbuh di ruang yang cepat menghakimi, atau terlalu sempit dengan batasan norma dan penilaian. Lama-kelamaan, saya pun terbiasa menyimpan ide, membungkam opini, dan menunda-nunda pertanyaan yang sebenarnya ingin sekali saya ajukan.
Terlebih jika saya pernah mengalami momen ketika ungkapan saya disalahpahami, ditertawakan, atau bahkan dianggap "berlebihan." Trauma kecil seperti ini bisa menancap cukup dalam dan membuat saya bertanya-tanya, "Masih amankah jika kali ini saya bicara jujur?"
Saya pun akhirnya menyadari: kesulitan mengungkapkan pikiran bukanlah tanda kelemahan. Ini adalah cerminan dari betapa rumitnya hubungan antara pikiran, perasaan, dan dunia di sekitar saya. Namun, ada satu hal yang melegakan---bahwa semua ini dapat dilatih. Dihadapi secara perlahan. Dan bahkan, pada waktunya, diubah menjadi kekuatan.
Lalu, Bagaimana Cara Mengatasinya?
Setelah menyadari bahwa mengungkapkan isi pikiran tidak selalu mudah, saya mulai mencari cara agar proses ini menjadi lebih ringan. Tidak instan, tentu saja. Tapi setidaknya, saya bisa mulai dari langkah kecil, sambil terus belajar memahami diri sendiri.
Langkah 1: Sadari dan Akui Bahwa Saya Sedang Kesulitan
Langkah pertama yang sering kali saya lupakan adalah mengakui bahwa saya memang sedang kesulitan. Bukan berarti saya lemah, apalagi berlebihan. Justru dengan menyadari dan mengakui, "Saya sedang kesulitan menyampaikan isi pikiran saya," saya memberi diri saya sendiri titik awal. Sebuah  pijakan. Sebab, saya tidak akan bisa menemukan jalan keluar jika saya tidak tahu bahwa saya sedang tersesat.
Langkah 2: Mulai dari Hal Kecil---Sangat Kecil
Saya tidak harus langsung menulis esai panjang atau berbicara di depan banyak orang. Saya bisa mulai dari satu kalimat sederhana:
"Hari ini saya merasa..."
"Saya ingin mengatakan sesuatu, tapi belum tahu bagaimana caranya."
Bisa dalam bentuk catatan di ponsel, rekaman suara untuk diri sendiri, atau bahkan sekadar status singkat di media sosial. Tidak perlu bagus, tidak perlu sempurna. Yang penting, keluar dulu. Karena semakin sering saya memberi ruang untuk menyuarakan isi hati dan pikiran, sekecil apa pun, saya sedang membentuk sebuah kebiasaan..
Langkah 3: Latih Diri Secara Konsisten: Bukan untuk Sempurna, tapi Agar Terbiasa
Banyak orang mengatakan, "latihan membuat sempurna." Namun, bagi saya, latihan membuat kemajuan adalah ungkapan yang lebih realistis dan menenangkan.
Saya mulai meluangkan waktu sekitar 5--10 menit setiap hari untuk menulis bebas. Apa saja. Tidak harus nyambung, tidak harus masuk akal. Ini bukan tentang membuat karya, tetapi tentang melatih keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Saya juga mencoba beberapa cara lain:
- Berbicara di depan cermin meskipun terasa aneh di awal
- Merekam suara saya saat menceritakan hari saya
- Mengirim pesan ke teman dekat yang saya percaya, tanpa khawatir dihakimi
Lama-kelamaan, saya mulai lebih nyaman mendengar suara saya sendiri baik yang diucapkan maupun yang dituliskan.
Langkah 4: Cari Lingkungan yang Aman dan Mendukung
Lingkungan sangat berperan penting. Saya belajar bahwa saya tidak harus kuat sendirian.
Saya mulai mencari ruang-ruang yang terasa aman, tempat di mana saya bisa berbicara tanpa harus takut dipotong, dikoreksi, atau dihakimi. Misalnya, bergabung dalam komunitas menulis, mengikuti forum diskusi santai, atau sekadar berbagi dengan orang-orang yang bersedia mendengar dengan tulus.
Ruang seperti ini membantu saya merasa lebih tenang, dan sering kali menjadi cermin yang memperjelas siapa saya sebenarnya.
Langkah 5: Belajar untuk Tidak Takut Salah
Ini mungkin tantangan terbesar saya: takut salah. Takut jika cara saya menyampaikan tidak tepat. Takut jika pikiran saya tidak bisa diterima. Namun, saya pelan-pelan mulai memahami bahwa menyampaikan isi pikiran bukanlah soal benar atau salah. Ini soal keberanian untuk jujur dan terbuka meskipun tidak semua orang akan setuju.
Toh, saya juga akan terus bertumbuh. Isi pikiran saya pun akan terus berkembang. Jadi, tidak masalah jika hari ini saya belum bisa menyampaikan dengan sempurna. Besok saya bisa memperbaikinya. Tapi itu hanya mungkin terjadi jika saya berani memulainya hari ini.
Suara dalam Dirimu Itu Penting
Setelah melalui berbagai hal yang saya uraikan tadi, saya sampai pada satu kesimpulan: kemampuan untuk mengungkapkan isi pikiran bukanlah bakat, melainkan kebiasaan yang dapat dibentuk. Dan seperti kebiasaan lainnya, ia tumbuh melalui proses perlahan, jujur, dan penuh pemahaman terhadap diri sendiri.
Saya menyadari, setiap orang pasti pernah berada dalam kondisi di mana kata-kata terasa menghilang. Ingin berbicara, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Ingin menulis, tapi tangan tak kunjung bergerak. Pikiran dan perasaan seolah menumpuk, namun tak satu pun menemukan jalan keluarnya.
Namun, saya belajar untuk tidak langsung menyebutnya sebagai kelemahan. Mungkin justru itu adalah fase penting. Fase  ketika saya sedang belajar mendengarkan suara saya sendiri.
Suara yang tidak harus sempurna, tapi jujur.
Suara yang mungkin masih ragu dan bergetar, tapi tetap berani mencoba.
Suara yang perlahan-lahan akan menemukan bentuknya, ritmenya, dan caranya sendiri untuk hadir di dunia.
Dan saya percaya, setiap orang memiliki suara yang layak untuk diperdengarkan. Termasuk saya. Termasuk kamu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI