Judul baru artikelnya adalah:
“Tangan yang Memberi, Hati yang Mengabdi: Kisah Sahabat Jalanan di Hogwarts.”
Artikel itu memang tidak seviral yang pertama. Tapi dampaknya jauh lebih besar. Mahasiswa mulai menggalang donasi, dosen membuka kelas relawan, dan kampus ikut mendukung program mereka.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan kedamaian. Pena yang dulu melukai kini bisa memberi cahaya.
Aku masih ingin menjadi jurnalis hebat. Aku masih ingin dikenal. Tapi sekarang aku tahu: dikenal bukan berarti diagungkan oleh manusia, dikenal berarti dipercaya untuk menyuarakan kebenaran.
Kadang ambisi itu muncul lagi. Tapi setiap kali datang, aku mengingat kata-kata Kak Safira:
“Pena akan menjadi saksi. Apakah ia menulis untuk cahaya atau untuk api, itu pilihanmu.”
Dan di tengah gemerlap kota Hogwarts, aku melangkah sebagai Nayara yang baru. Masih muda, masih belajar, tapi kini aku menulis bukan demi sorotan, melainkan demi keridaan-Nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI