Mohon tunggu...
Eva Sariyanti
Eva Sariyanti Mohon Tunggu... Pelajar

traveling ++

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka Dari Tinta, Cahaya Dari Kata

25 September 2025   20:52 Diperbarui: 25 September 2025   20:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pena bisa jadi saksi. Ia bisa menyembuhkan… atau melukai. Semua tergantung siapa yang menggenggamnya.”

Namaku Nayara Pramesti, 19 tahun. Aku baru saja lulus dari SMA dan sekarang menjadi mahasiswi baru di Hogwarts Global Institute, kampus terbesar di kota fiksi modern Hogwarts. Sejak dulu, aku punya satu mimpi yang tidak pernah pudar: menjadi jurnalis. Aku ingin menulis berita yang dibaca banyak orang, membuat nama “Nayara” terdengar di mana-mana.

Mimpi itu terasa semakin nyata ketika aku diterima sebagai anggota baru di Hogwarts Campus Press, majalah kampus yang terkenal seantero Hogwarts. Rasanya seperti langkah pertama menuju cita-citaku.

“Selamat datang di dunia yang tidak hanya soal menulis,” ucap Kak Damar, redaktur senior saat pertama kali kami bertemu. “Ingat, jurnalis sejati menulis demi kebenaran, bukan demi tepuk tangan.”

Aku hanya tersenyum mendengar itu. Dalam hati aku membatin, 'aku tetap ingin dikenal'.

Tugas pertamaku datang lebih cepat dari yang kukira. Namun tidak seperti yang kubayangkan, bukan liputan besar atau isu politik kampus, melainkan tentang sebuah komunitas sosial bernama "Sahabat Jalanan" yang membagikan makanan gratis untuk anak-anak jalanan.

“Cuma ini, Kak?” tanyaku sedikit kecewa.

“Cobalah lihat lebih dalam,” jawab Kak Damar. “Berita besar tak selalu lahir dari panggung megah.”

Aku pun berangkat ke lokasi liputan. Di bawah jembatan kota Hogwarts, aku melihat beberapa relawan membagikan nasi bungkus dengan wajah penuh semangat. Anak-anak jalanan itu tampak bahagia menerima makanan sederhana itu.

“Kenapa kakak melakukan ini?” tanyaku pada Kak Safira, ketua relawan. “Tidak ada bayaran, tidak ada publikasi.”

Ia tersenyum lembut. “Karena berbagi itu bukan soal dikenal. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.’

Kata-kata itu sempat menyentuh hatiku, namun kemudian hilang begitu saja. *Artikel yang terlalu tenang tidak akan viral, pikirku.

Malam itu aku menulis artikel dengan cepat. Kalimat demi kalimat kususun penuh sensasi. Judulnya:

“Di Balik Nasi Gratis: Pencitraan atau Kepedulian?”

Aku bahkan memelintir beberapa jawaban agar terlihat seperti pengakuan. Dua hari kemudian, artikel itu benar-benar meledak.

“Hebat, Nayara!” seru teman sekelasku.

“Ini tulisan paling ramai dibicarakan,” kata dosen jurnalisme.

Aku merasa sangat puas. Aku pikir langkah menuju ketenaran tinggal selangkah lagi. Tapi rasa bangga itu hilang seketika saat kenyataan mulai menampar.

Tiga hari kemudian, grup redaksi ramai. Komunitas "Sahabat Jalanan"kehilangan dua donatur besar. Banyak warga mulai meragukan niat mereka. Dan yang paling menyakitkan, anak-anak jalanan yang biasa mereka bantu tidak makan selama dua hari.

Aku membeku membaca pesan itu. Dadaku terasa sesak.

Di kantor redaksi, Kak Damar menatapku tajam.

“Artikelmu memang viral, tapi tidak benar. Kau tahu akibatnya?”

Aku diam tak mampu menjawab.

Menulis itu amanah, Nayara. Jika pena dipakai untuk menyebarkan fitnah, ia akan bersaksi melawanmu.”

Malam itu aku menangis dalam diam. Untuk pertama kalinya, aku membenci diriku sendiri. Semua ambisi itu terasa kosong ketika harus dibayar dengan air mata orang lain.

Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri menemui Kak Safira.

“Assalamu’alaikum, Kak…” ucapku lirih.

“Wa’alaikumussalam, Nayara,” jawabnya. Ia tetap tersenyum meski matanya terlihat lelah.

“Aku… aku minta maaf. Karena tulisanku, semuanya jadi kacau. Aku hanya ingin dikenal,” kataku sambil menunduk.

Safira menatapku dalam. “Dikenal manusia tidak berarti apa-apa kalau Allah tidak ridha. Jangan biarkan egomu lebih tinggi dari kebenaran.”

Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. “Aku ingin memperbaiki semuanya.”

“Kalau begitu,” katanya lembut, “gunakan penamu untuk menulis kebenaran. Bukan demi kami, tapi demi Allah.”

Aku kembali ke meja kerjaku dengan hati yang berbeda. Kali ini tanpa ambisi, tanpa keinginan untuk dipuji. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahan.

Judul baru artikelnya adalah:

“Tangan yang Memberi, Hati yang Mengabdi: Kisah Sahabat Jalanan di Hogwarts.”

Artikel itu memang tidak seviral yang pertama. Tapi dampaknya jauh lebih besar. Mahasiswa mulai menggalang donasi, dosen membuka kelas relawan, dan kampus ikut mendukung program mereka.

Untuk pertama kalinya, aku merasakan kedamaian. Pena yang dulu melukai kini bisa memberi cahaya.

Aku masih ingin menjadi jurnalis hebat. Aku masih ingin dikenal. Tapi sekarang aku tahu: dikenal bukan berarti diagungkan oleh manusia, dikenal berarti dipercaya untuk menyuarakan kebenaran.

Kadang ambisi itu muncul lagi. Tapi setiap kali datang, aku mengingat kata-kata Kak Safira:

“Pena akan menjadi saksi. Apakah ia menulis untuk cahaya atau untuk api, itu pilihanmu.”

Dan di tengah gemerlap kota Hogwarts, aku melangkah sebagai Nayara yang baru. Masih muda, masih belajar, tapi kini aku menulis bukan demi sorotan, melainkan demi keridaan-Nya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun