Aku diam tak mampu menjawab.
“Menulis itu amanah, Nayara. Jika pena dipakai untuk menyebarkan fitnah, ia akan bersaksi melawanmu.”
Malam itu aku menangis dalam diam. Untuk pertama kalinya, aku membenci diriku sendiri. Semua ambisi itu terasa kosong ketika harus dibayar dengan air mata orang lain.
Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri menemui Kak Safira.
“Assalamu’alaikum, Kak…” ucapku lirih.
“Wa’alaikumussalam, Nayara,” jawabnya. Ia tetap tersenyum meski matanya terlihat lelah.
“Aku… aku minta maaf. Karena tulisanku, semuanya jadi kacau. Aku hanya ingin dikenal,” kataku sambil menunduk.
Safira menatapku dalam. “Dikenal manusia tidak berarti apa-apa kalau Allah tidak ridha. Jangan biarkan egomu lebih tinggi dari kebenaran.”
Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. “Aku ingin memperbaiki semuanya.”
“Kalau begitu,” katanya lembut, “gunakan penamu untuk menulis kebenaran. Bukan demi kami, tapi demi Allah.”
Aku kembali ke meja kerjaku dengan hati yang berbeda. Kali ini tanpa ambisi, tanpa keinginan untuk dipuji. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahan.