Â
     Aktivitas perburuan satwa liar bukanlah hal yang baru, bahkan intensitasnya cenderung terus meningkat. Beragam tujuan dijadikan alasan pembenar, seperti : mengurangi hama/perusak/pengganggu tanaman, untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, menambah penghasilan sampai kepada penyaluran hobi/kesenangan. Berbagai cara/aktivitas perburuan pun dihalalkan, termasuk pemasangan jerat.
     Jerat memang terbukti ampuh dalam aktivitas perburuan. Sayangnya, niat hati ingin menjerat babi hutan maupun hewan/satwa hama/pengganggu lainnya, sebaliknya yang terjerat adalah satwa liar jenis yang dilindungi. Malang pun tak dapat ditolak, beberapa satwa liar tersebut menjadi korban bahkan sampai meregang nyawa.  Simak fakta dan data  berikut ini.
     Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang terlilit jerat babi hutan selama 4 hari, akhirnya mati pada Senin (9/6/2025) setelah mendapatkan perawatan medis selama 28 hari di Tempat Penyelamatan Satwa (TPS) milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. Infeksi timbul karena jerat yang menimpa harimau. Akibatnya, luka serius hingga peradangan dialami kaki kiri satwa itu. Hal tersebut merupakan dampak negatif dari jerat yang diletakkan oleh para pemburu (Jerat Pemburu Disebarkan, Satwa Liar Jadi Korban, Afifah Putri Ningdiyah,  https://gardaanimalia.com 11 Juli 2025)
      Sebelumnya, satu ekor Harimau Sumatera betina ditemukan mati akibat jerat, di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Rabu (11/9/2024) siang. Irfan Tambunan, warga Hutalimbaru, Kecamatan Kotanopan, menurut pengakuannya mengatakan jerat dipasang untuk menangkap babi di kebunnya. Namun setelah diperiksa ternyata yang kena adalah harimau dalam kondisi tidak bernyawa.
     Lokasi kejadian berhimpitan langsung dengan kawasan hutan Taman Nasional (TN) Batang Gadis yang merupakan wilayah jelajah Harimau Sumatera (Kena Jerat, Harimau Sumatera Ditemukan Mati di Mandailing Natal, Ayat S. Karo-karo,  https://mongabay.co.id  14 September 2024)
     Masih ditahun yang sama, satu ekor harimau lagi-lagi mati akibat jerat, pada Kamis (25/7/2024). Harimau betina usia 2-3 tahun itu, ditemukan dengan leher terjerat di wilayah Nagari Sungai Pua, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam. Hasil nekropsi menunjukkan, satwa dilindungi ini mati akibat trachea pecah fraktur pada tulang leher yang mengakibatkan gagal napas akibat terjerat pada leher (Masuk Kandang Jebak, Begini Kondisi Harimau Yang Ditangkap di Agam, Vinolia https://mongabay.co.id 18 Maret 2025)
     Bukan hanya harimau, satwa lainnya juga jadi korban jerat. Beruang Madu (Helarctos malayanus) contohnya, menjadi korban terlilit jerat babi hutan milik masyarakat dengan kondisi kaki kanannya nyaris putus. Lokasi jerat berada di Dusun Bukit Paku, Desa Pelayangan, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, Jambi.
     Kepala Balai KSDA Jambi, Agung Nugroho, Jumat (6/6/2025) menjelaskan Beruang Madu berusia 7 tahun, dengan jenis kelamin betina dan perkiraan bobot tubuh sekitar 60-70 kilogram. Hasil analisis dari tim lapangan, beruang madu telah dua hari terperangkap jerat babi hutan milik masyarakat. Satwa ini mengalami luka serius pada kaki depan sebelah kanan. Bahkan pergelangan kaki yang terlilit jerat nyaris putus (Kaki Beruang Madu Yang Terlilit Jerat 2 Hari dan Nyaris Putus, Kepala BKSDA : Kita Beri Tindakan Medis,  https://regional.kompas.com 6 Juni 2025)
     Tak lama berselang, giliran Tim Balai KSDA Aceh mengevakuasi satu individu Beruang Madu yang terkena jerat di perkebunan masyarakat di Desa Meunasah Gantung, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat, pada Rabu (2/7/2025). Kepala Balai KSDA Aceh Ujang Wisnu Barata, mengatakan kondisi beruang betina, berusia sekitar satu setengah tahun, tersebut saat dievakuasi mengalami luka serius akibat terkena jerat.
     Bagian kaki yang terkena jerat tali plastik, terpaksa diamputasi karena terjadi pembusukan jaringan. Beberapa jari beruang juga sudah terputus akibat terkena tali jerat (BKSDA Evakuasi Beruang Terkena Jerat di Aceh Barat,  https://aceh.antaranews.com , 5 Juli 2025)
Aturan
     Perbuatan menjerat satwa liar terutama jenis yang dilindungi, sejatinya merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 2 dan Pasal 40 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mengatur mengenai larangan menangkap, membunuh, memiliki, memelihara satwa dilindungi, baik dalam keadaan hidup atau mati. Ancaman pidananya berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun (Jerat Pemburu Disebarkan, Satwa Liar Jadi Korban, Afifah Putri Ningdiyah, https://gardaanimalia.com 11 Juli 2025)
     Selain itu, melihat tingginya aktivitas pemasangan jerat oleh masyarakat serta dampak yang ditimbulkan terhadap kelestarian satwa liar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun telah mengeluarkan Instruksi Nomor : INS.1/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/6/2022 tanggal 17 Juni 2022 tentang Perlindungan Satwa Liar Atas Ancaman Penjeratan Dan Perburuan Liar Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan, yang ditujukan kepada semua jajaran lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia.Â
     Secara umum, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginstruksikan untuk melakukan koordinasi kebijakan dan program dalam upaya perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan liar sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, serta mengambil langkah-langkah strategis terhadap pencegahan terjadinya penjeratan dan perburuan satwa liar.
     Secara khusus, kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, Menteri menginstruksikan untuk melakukan sinkronisasi program dan kegiatan di wilayah kerjanya dengan upaya perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan, melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada masyarakat akan perlunya perlindungan satwa liar, dan memberikan dukungan serta koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pelaksanaan perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan.
     Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini semestinya menjadi entry point yang penting dalam upaya penyelamatan dan pelestarian satwa liar khususnya jenis yang dilindungi, dari adanya ancaman penjeratan dan perburuan liar baik yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Apalagi gubernur dan bupati/walikota memiliki jaringan (struktur) organisasi sampai ke tingkat tapak, yaitu desa/kelurahan, sehingga bisa menyentuh langsung ke masyarakat.
     Namun sayangnya instruksi ini terkesan tidak berdampak, peristiwa satwa liar dilindungi yang terkena jerat, masih terus terjadi. Satu demi satu korban berjatuhan. Bila tidak mati, satwa liar akan mengalami cacat dengan kondisi kaki diamputasi. Ini menandakan pengawasan dan koordinasi di lapangan oleh pihak-pihak terkait belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Apa yang salah ?Â
     Dwi Nugroho Adhiasto, ahli konservasi dan penegakkan hukum satwa liar yang juga Technical Advisor Yayasan SCENTS, menyebut jerat merupakan ancaman utama satwa liar di hutan. Jumlah yang dipasang tidak sebanding dengan petugas patroli yang melakukan pembersihan. Tingginya penggunaan jerat dikarenakan mudah dan tidak ada aturan (Masuk Kandang Jebak, Begini Kondisi Harimau Yang Ditangkap di Agam, Vinolia, https://mongabay.co.id 18 Maret 2025)
      Disamping itu, kolaborasi dan sinergitas petugas serta aparat terkait dalam mencegah terjadinya dampak dari jerat masih belum terlihat. Persoalan jerat, karena berkaitan dengan satwa liar yang dilindungi, masih dianggap hanya urusan dan tanggung jawab dari Kementerian Kehutanan beserta jajarannya di lapangan.
     Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : INS.1/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/6/2022 tanggal 17 Juni 2022 tentang Perlindungan Satwa Liar Atas Ancaman Penjeratan Dan Perburuan Liar Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan, khususnya yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia, juga belum memberi pengaruh yang signifikan.
     Tak ubahnya seperti peristiwa kebakaran, ketika terjadi, berduyun-duyun pihak memadamkannya, setelah itu... selesai begitu saja menunggu peristiwa berikutnya terjadi lagi. Begitu jugalah dengan penanganan jerat,  ketika timbul masalah atau dampak dari jerat, barulah terlihat  keterlibatan berbagai pihak, setelah itu... tak ada yang perduli untuk mencegah agar peristiwa yang sama jangan terulang kembali.
Kolaborasi bukan basa basi
    Untuk mengatasi permasalahan jerat, sesungguhnya tidaklah sulit. Hanya membutuhkan komitmen bersama untuk sungguh-sungguh berkolaborasi dan bersinergi. Komitmen tentunya bukan hanya di atas kertas, tapi real diterapkan di lapangan. Mulai dari edukasi dan awareness kepada masyarakat sampai kepada pengawasan, dilakukan secara bersama.
     Demikian juga dengan penerapan sanksi hukum harus benar-benar ditegakkan, agar memberi efek jera bagi pelaku maupun calon pelaku lainnya. Karena dengan penerapan hukum ini, menjadi bagian dari penegakkan keadilan, termasuk memberi keadilan bagi satwa liar untuk hidup tenang dan aman, terhindar dari ancaman cacat dan kematian.
    Bisakah ini terwujud...? Seharusnya bisa...!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI