Bagian kaki yang terkena jerat tali plastik, terpaksa diamputasi karena terjadi pembusukan jaringan. Beberapa jari beruang juga sudah terputus akibat terkena tali jerat (BKSDA Evakuasi Beruang Terkena Jerat di Aceh Barat,  https://aceh.antaranews.com , 5 Juli 2025)
Aturan
     Perbuatan menjerat satwa liar terutama jenis yang dilindungi, sejatinya merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 2 dan Pasal 40 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mengatur mengenai larangan menangkap, membunuh, memiliki, memelihara satwa dilindungi, baik dalam keadaan hidup atau mati. Ancaman pidananya berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun (Jerat Pemburu Disebarkan, Satwa Liar Jadi Korban, Afifah Putri Ningdiyah, https://gardaanimalia.com 11 Juli 2025)
     Selain itu, melihat tingginya aktivitas pemasangan jerat oleh masyarakat serta dampak yang ditimbulkan terhadap kelestarian satwa liar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun telah mengeluarkan Instruksi Nomor : INS.1/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/6/2022 tanggal 17 Juni 2022 tentang Perlindungan Satwa Liar Atas Ancaman Penjeratan Dan Perburuan Liar Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan, yang ditujukan kepada semua jajaran lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia.Â
     Secara umum, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginstruksikan untuk melakukan koordinasi kebijakan dan program dalam upaya perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan liar sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, serta mengambil langkah-langkah strategis terhadap pencegahan terjadinya penjeratan dan perburuan satwa liar.
     Secara khusus, kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, Menteri menginstruksikan untuk melakukan sinkronisasi program dan kegiatan di wilayah kerjanya dengan upaya perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan, melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada masyarakat akan perlunya perlindungan satwa liar, dan memberikan dukungan serta koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pelaksanaan perlindungan satwa liar dari penjeratan dan perburuan.
     Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini semestinya menjadi entry point yang penting dalam upaya penyelamatan dan pelestarian satwa liar khususnya jenis yang dilindungi, dari adanya ancaman penjeratan dan perburuan liar baik yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Apalagi gubernur dan bupati/walikota memiliki jaringan (struktur) organisasi sampai ke tingkat tapak, yaitu desa/kelurahan, sehingga bisa menyentuh langsung ke masyarakat.
     Namun sayangnya instruksi ini terkesan tidak berdampak, peristiwa satwa liar dilindungi yang terkena jerat, masih terus terjadi. Satu demi satu korban berjatuhan. Bila tidak mati, satwa liar akan mengalami cacat dengan kondisi kaki diamputasi. Ini menandakan pengawasan dan koordinasi di lapangan oleh pihak-pihak terkait belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Apa yang salah ?Â
     Dwi Nugroho Adhiasto, ahli konservasi dan penegakkan hukum satwa liar yang juga Technical Advisor Yayasan SCENTS, menyebut jerat merupakan ancaman utama satwa liar di hutan. Jumlah yang dipasang tidak sebanding dengan petugas patroli yang melakukan pembersihan. Tingginya penggunaan jerat dikarenakan mudah dan tidak ada aturan (Masuk Kandang Jebak, Begini Kondisi Harimau Yang Ditangkap di Agam, Vinolia, https://mongabay.co.id 18 Maret 2025)
      Disamping itu, kolaborasi dan sinergitas petugas serta aparat terkait dalam mencegah terjadinya dampak dari jerat masih belum terlihat. Persoalan jerat, karena berkaitan dengan satwa liar yang dilindungi, masih dianggap hanya urusan dan tanggung jawab dari Kementerian Kehutanan beserta jajarannya di lapangan.