Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabatku yang Malang

14 September 2022   06:52 Diperbarui: 14 September 2022   07:40 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                  Dokrpi

Di suatu senja yang tenang itu barisan burung kuntul mematuk-matuk lumpur di bibir rawa hutan basah.  Seidaknya serangga-serangga, atau binatang kecil yang dipatuknya bisa mengenyangkan untuk istirahat malam mereka.

Namun satu dari sekian banyak burung kuntul itu terpisah dari barisan tersebut. Ia merasa bosan berada di sekitar kawanannya. Kata si Kun di dalam hatinya,"kamu lagi, kamu lagi."

Maka ia terbang ke sana kemari menjauh sebelum datangnya gelap menyapa. Setelah memutar area sekitar, dalam beberapa menit ia turun kemudian di suatu hamparan tanah berumput jarang di dekat pemukiman manusia.

"O rupanya ini sawah yang akan dibajak,"katanya membathin.

Ia pun mulai mematuk-matuk tanah sawah ini. Apa yang dipatuk, sama juga dengan apa yang dipatuk teman-temannya itu. Ia merasa tidak ada enerji untuk terbang lagi nanti berharap dari kesediaan pangan di sini.

Sedang malas begitu, matanya mengarah pada tiga ekor kerbau yang sedang bermain di dekat sungai. Sambil loncat-loncat ringan ia dekati untuk sekadar melihat rupa binatang yang kokoh, dan besar ini. Ia berdiri di tepi seolah menyapa kerbau-kerbau itu.

Satu dari kerbau itu rupanya mendengar suara hati si Kun. Maka ia naik untuk mencoba mendekati. Tanpa ragu lalu berkenalan satu sama lain. Perkenalan ala hewan pun dilakukan. Inisiatif datang dari kerbau betina ini.

Lalu mereka jadi akrab seketika. Tanpa basa-basi seperti jenis manusia, Kalau manusia, pikir keduanya, habis kenalan itu, kemudian akrab, lalu pinjam uang, pulang sembari beli undian di jalan.

Di tengah perbincangan yang seru keduanya, si Kerbau tiba-tiba meminta bantuan sI Kun. Katanya, kepalanya gatal sekali.

Si Kun seperti senang, dan riang. Pucuk dicinta ulam tiba. Sedang lapar, datang makanan besar. Maka ia segera hinggap di atas tubuh kerbau yang dengan santun, kerbau ini berbaring  sendiri pula di tanah berlumpur tersebut.

Si Kun mematuk-matuk kemudian kutu-kutu yang ada di bagian tubuh kerbau. Satu jam ia lakukan hingga kerbau tertutup matanya keasikan. Tertidur.

Si Kun kemudian puas, dan kenyang. Mau membangunkan tidak tahu caranya, maka ia tinggalkan begitu saja kerbau itu.

Ia kembali pada kawanannya yang juga merasa kehilangan. Dua dari mereka menyapa si Kun.

"Kamu kemana saja?"kata koleganya khawatir, tapi si Kun membisikan pada keduanya habis makan enak dari kutu kerbau.

"Aku diajak dong besok,"pinta mereka penasaran.

"Siap, siap. Tapi diam-diam ya,"balasnya.

Keduannya senang, lalu mereka beriringan terbang, pulang tidak tahu kemana.

***

Esoknya bertiga mereka memisahkan diri dari kelompoknya tidak terlalu sore. Si Kun jadi juru arah untuk datangi kerbau betina yang biasa menghabiskan waktu sore hari di sungai dekat rawa.

Namun mereka tidak melihat si kerbau betina. Di sungai cuma ada dua saja. Keduanya pejantan.

"Kemana si kerbau betina,"pikir si Kun bertanya-tanya yang dilirik pula oleh kedua rekannya ingin tahu.

Sebagaimana hewan yang secara insting dan naluriah bisa memahami satu sama lain. Kedua kerbau itu pun lalu naik, dan mendekati seraya menunjukkan wajah sedih.

Si Kun, dan kedua rekannya saling tengok.  Namun si Kun, nekad bertanya,"kemana sahabatku si kerbau betina?Apakah dia sedang tidak enak body?"

Juga tidak dijawab. Kedua kerbau ini kepalanya menggeleng-geleng, dan hanya mengisyaratkan untuk ikuti saja langkah mereka.

Seperti mengerti, si Kun dan kedua rekannya meloncat-loncat mengiringi di belakang. Rekan si Kun sudah bersemangat, girang. Makan hingga jelang malam nanti sudah beres, dan bakal kenyang.

***

Beberapa saat kemudian mereka tiba. Tapi bukannya kenyang yang ada dipikiran burung kuntul ini, justru mereka disodori pemandangan mengerikan.

Kerbau betina itu menyisakan tulang kaki, dan tanduk yang dibiarkan di sudut rawa dekat tumbuhan bakau liar tergolek.

Kata si Kun, "itu siapa?"

"Itu saudariku. Sahabatmu,"jawab kerbau pejantan tertunduk pilu.

Kedua kerbau itu menceritakan. Setelah dipatuk-patuk oleh si Kun, ia tertidur pulas. Sudah berusaha dibangunkan tidak bisa juga, makanya ditinggalkan di situ.

Tapi esoknya ia sudah tidak ada di tempat. Dicari, akhirnya siang tadi ada di sudut rawa itu.

Mereka menceritakan dengan kesedihan yang mendalam. Si Kun dan kedua rekannyanya mendengar penuturan saudaranya betina seperti berduka, dan mereka lalu mengucapkan lewat suaranya lirih,"selamat jalan sahabatku."

***

Suasana jadi hening kemudian, sementara senja mulai datang. Si Kun masih sedih. Kedua temannya kelaparan. Seperti tahu apa yang dialami si Kun, dan kedua rekannya itu maka Jalan keluar segera dilakukan.  Dua kerbau ini merelakan pula akhirnya untuk dipatuk-patuk si Kuntul, dan rekannya.

Tapi sebelum dipatuk-patuk, kedua kerbau ini bilang pada si Kun, dan kedua rekannya.

"Kalau kami tertidur, patuk saja mata kami biar segera bangun supaya tidak bernasib seperti saudariku, yang disantap buaya darat itu eh buaya rawa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun