Kata-kata
Terangkai dalam nuansa kalimat yang lirih tanpa jiwa
Tertulis indah
Namun hampa tanpa rasa
Katanya bukan sekadar untaian kata takbernyawa
Bisa ditorehkan semau-maunya
Bagaimana aku bisa  supaya ia berdenyut?
Aku tulis
Di atas kertas sebagai bayangan yang tiba-tiba melintas
Pada pikiran dan hati yang bebas
Atas suasana yang datang seketika dipenat lepas
Tersusun kemudian bait-bait, lirik-lirik yang turun naik
Berirama
Bernada
Bersenandung, tentang
Gembira, sedih, tawa, senyum, murung, resah, gelisah, marah, gundah gulana, canda, serius, patah hati
Bagaimana aku bisa supaya hidup begitu?
Aku lalu baca dengan keras seperti teriak anak-anak yang mengingatkanku waktu balita dulu di pangkuan ibu
Aku malu
Bahkan di saat demikian itu
Tapi puisiku takjua hidup
Bagaimana aku bisa supaya bebas menafsirkan apa yang aku tulis sebuah puisi itu?
Aku biarkan saja jemari ini menuliskan kata-kata di kertas puith itu apa adanya  setelah mendengar jerit hati yang mengiba-iba
Sebagaimana aku mendengar alunan ayat-ayat suci, maupun lagu-lagu yang begitu merdu
Menyelinap jauh ke lubuk hati
Tanpa perlu bertanya kembali bagaimana seharusnya aku menulis puisi
Puisi ini milikku
Puisi juga adalah milikmu
Milik pikiran dan hati yang terjelma dalam untaian kata-kata
Entah hidup atau mati
Baca juga:
https://www.kompasiana.com/erusnadi/631c788aa196e35832732b93/setelah-jauh-aku-berjalan