Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tumbal Proyek

21 September 2019   14:16 Diperbarui: 21 September 2019   14:20 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: Flickr, Atomic Indy)

Jalan yang dipilihnya seperti lubang tanpa cahaya. Gelap, dingin dan berbatu. Ia masuk jauh ke dalam seakan mendekati ajal di sudut bangunan proyek yang mencibirnya. Tapi ia tak peduli.

***

" Aku tak habis pikir, warga gampang bedolan. Tidak seorang, tapi satu kampung!" Kata Jimbul.

Jenny tak menimpali.

"5 tahun aku urus tanah pasti ada kendala. Tapi dia sudah menunjukkan prestasi, ini gila!"

Prestasinya cepat menjadi buah bibir, tapi secepat itu pula mengendap. Bagi mereka terpenting perusahaan untung, dan tiap bulan upah tak kurang. Malah tiga tahun Dimin di situ, tiga tahun itu juga upah naik terus.

Karenanya di tahun ke empat, kembali perusahaan kontraktor itu merencanakan pembangunan hotel. Lokasi tanahnya strategis, dan cukup jauh dari pemukiman. Luas tanahnya tiga hektar. Konon sudah dikelola turun temurun. Empat dari lima orang yang punya sudah sedia dibebaskan. Tinggal satu orang yang masih bertahan dengan alasan tanah keramat, dan harga yang murah.

"Kalau pun Aki tidak setuju, masih bisa jual sesuai NJOP. Tidak masalah. Terpenting dijual bersamaan,"bujuk Celeng mewakili yang lain.

"Kalian pastikan orang proyek itu jujur. Tidak seenaknya!"Kata Aki Sanca.

Namun kala transaksi dilakukan, harga tidak sesuai sebagaimana yang dijanjikan. Justru semakin murah. Anehnya keempat orang itu tetap manut, kecuali dirinya seorang. Ia protes sekaligus merobek salinan perjanjian yang dipegangnya, lalu pergi.

Dimin terkejut. Sementara lainnya senang terima uang. Setengah berlari ia mengejarnya.

"Aki Sanca, tunggu!"

Orang tua ini tak menoleh dan terus berjalan. Dimin ikuti langkahnya hingga ke rumah. Ia tak ingin urusan ini tertunda. Karenanya ia perlu bicara.

"Maaf, Ki. Aki tidak bisa membatalkan secara sepihak. Semua sudah tandatangan. Tinggal Aki yang belum terima uangnya. Ini saya bawakan. Barangkali Aki merasa tidak nyaman menerima uang di rumah Kang Dayat."

"Bawa kembali uang itu. Saya sudah merobek surat perjanjiannya. Silakan keluar."

"Begini Ki.."

"Silakan keluar!"Aki Sanca meradang.

Di luar, beberapa orang yang berkaitan dengan urusan tanah ini punya harapan, Dimin telah berhasil mengendalikan orang tua itu. Tapi nyatanya tidak. Mereka kembali, namun selama perjalanan Jimbul sempat angkat bicara.

"Orang tua itu seharusnya digertak saja. Digugat." 

"Tidak perlu. Orang tua seperti itu akan semakin menentang. Biar saja."

"Menentang semakin bagus. Kita punya bukti."

"Terlalu panjang urusannya. Aku punya cara lain."

"Apa?

"Rahasia."

Satu jam kemudian persis di Patung Kodok Kembar yang berjarak sekitar satu kilometer dari kantornya, Dimin minta diturunkan. Ia menyeberang, lalu melangkah pelan di sepanjang trotoar. Siapa sangka tak jauh di hadapannya ia kenali lelaki berambut panjang, kurus dan mengelek ransel butut berjalan cepat menuju halte. Dimin mengatupkan kedua tangannya membentuk corong di sekitar mulut.

"Kusno !"

Yang dipanggil mendekat, tersenyum lalu menjabat erat satu sama lain. Keduanya saling mengabarkan. Dimin mengajaknya menuju cafe tak jauh dari situ yang disebut Kusno sebagai jajanan kapitalis. Selayaknya sahabat, perbincangan pun menjurus ke segala arah, hingga Kusno terperangah dengan pengakuan Dimin.

"Jadi semua itu dengan bantuan klenik?"

"Begitulah."

Pengakuannya yang terbuka membuat Kusno urung menimpali. Padahal ia ingin sekali mengingatkan sahabatnya ini untuk tidak melakukan praktek kerja yang menurutnya di luar batas kemanusiaan. Klenik dan perdukunan bagi Kusno bukan solusi untuk menghadapi persoalan kerja. Masih banyak cara lain yang setidaknya saling menguntungkan agar semua pihak tidak dirugikan. Tapi hal ini di luar dugaannya.

"Sudah jelang empat tahun dan tiada halangan. Cuma hari ini ada yang menolak. Seorang tua di kampung sana yang punya 5000 meter. Padahal perjanjian sudah ditandatangani olehnya. Tapi itu soal mudah,"jelas Dimin mantap.

Kusno terdiam dan nafasnya tertahan. Pertemuan ini baginya terasa tidak nyaman, sebab itu ia undur diri untuk meneruskan perjalanannya.

Jelang malam usai pertemuannya dengan Kusno, Dimin kembali ke kantornya tapi sebentar saja. Ia lantas keluar dan bergegas dengan sedannya menuju suatu lokasi di sudut kota berbatasan dengan Jakarta. Tujuannya mbah Jambrong!

Sejauh ini pesan mbah Jambrong tunai dikerjakan untuk menancapkan sebatang lidi bambu bertuah di tiap sudut tanah seluas tiga hektar itu. Dan, terbukti, kecuali satu orang saja. Tapi ia ingin kembali lagi seraya berharap diberikan sesuatu yang lebih ampuh agar Aki Sanca merelakan tanahnya.

Tidak makan waktu, ia kemudian tiba di kediaman tetua itu yang tubuhnya kurus, hitam, dan kotor. Ia juga berambut panjang tak terawat. Tetua ini sudah paham maksud kedatangannya. 

Dan, segera menyuruh Dimin untuk mandi air kembang tujuh rupa sebagai syarat. Seusainya Dimin dibekali pula segenggam tanah pekuburan yang baunya amis terbungkus kain kafan yang berdarah.

"Taruh bekal ini di sisi kiri pintu masuk rumah orang tua yang punya tanah itu pada malam Jumat Kliwon. Tiga hari dari sekarang. Esoknya temui lagi, dan beres. Ingat itu,"katanya.

Sebagaimana hari yang ditentukan, Dimin kembali menemui Aki Sanca. Ia sudah berada di kampung yang menyambutnya dengan gerimis. Tepat azan maghrib dihentikan sedannya di muka halaman, dan bergegas masuk. 

Sebelum mengetuk pintu, ia sempatkan untuk mengambil bekal dari tasnya dan diletakkan persis seperti yang diperintahkan tetua itu. Lalu mengucapkan salam.

Aki Sanca tak menggubris, lalu mengusirnya, namun dicegah Nyi Ronggeng, istrinya. Mereka terlibat perbincangan singkat yang tak jauh dari soal tanah. Tapi tetap buntu. Dimin selanjutnya meninggalkan tempat tersebut seraya tersenyum penuh kemenangan.

***

Sebaliknya di penghujung malam di kediaman kedua orang tua itu muncul keanehan yang dirasakan tuan rumah. Yakni, udara panas, disertai suara yang bikin bangun bulu kuduk seperti di film horor buatan dalam negeri, menyelimuti semua ruangan. Mereka kemudian mencari pangkal keanehan itu. Dicari di tiap sudut, tidak ada. Di bagian belakang sama. Hingga ditemukan bungkusan tersebut.

"Hm rupanya benda ini biang keroknya!"

Dibawanya masuk benda itu, dan kemudian dibuka bersama. Seketika keanehan pun lenyap.

Di hadapan Nyi Ronggeng, Aki Sanca menerangkan makna benda itu. Kain putih ini adalah kain kafan jenazah yang diambil dari pekuburan entah di mana. 

Sedangkan tanah ini, adalah tanah yang diambil dari dalam rongga tanah di mana jenazah dipendam. Ini sebagai tanda. Jika usaha yang dilakukan anak itu berhasil maka dia sendiri yang menjadi tumbalnya. 

Jika tidak, sama saja. Kematian anak itu sudah di depan mata, entah kapan. Kelihatan sekali yang meracik benda ini sudah muak dengan anak itu.

"Lalu bagaimana dengan tanah kita, Ki?"

"Jual saja. Biar anak itu puas, hehehehe."

Keduanya terkekeh dan segera membungkus kembali benda itu untuk kemudian dipendam di belakang halaman, disertai dengan jampi-jampi yang mereka bisa.

Jumat yang di nanti pun akhirnya tiba. Dua hari berturut-turut Dimin menemui Aki Sanca. Dua kali pula Aki Sanca didatangi Dimin tanpa jeda. Di dalam hati Dimin campur aduk antara takut dan gelisah. 

Ia seperti orang yang tidak berpijak pada tempatnya. Dirasakan sukmanya seperti melayang entah kemana. Namun demikian kegelisahan semacam itu ia tanggalkan. And the end, tak sia-sia, ia lolos urusannya di hari itu.

Aki Sanca sama sekali tak menolak. Kontan saja ia sudahi kesepakatan itu dengan cepat. Seterusnya menuju kediaman lurah kampung yang jaraknya 100 meter.

"Ini bagian lurah. Tak usah dihitung kembali. Tinggal urus saja surat tanah yang tiga hektar itu. Saya tunggu kabarnya,"kata Dimin sembari menyodorkan segepok uang dalam amplop coklat.

Lurah Gemblung menuruti semua yang dikatakannya. Baginya uang adalah segalanya agar bisa mengurus istri dan tujuh orang anak. Selebihnya bisa datang ke tempat hiburan di kampung sebelah untuk dangdutan dan saweran. 

Gemblung memang dikenal sebagai lurah kampung yang dikenal penjilat, biyong dan suka main perempuan. Tapi ia akui Dimin sangat berani menentang Aki Sanca, padahal dirinya selama ini takut bila berhadapan dengan kedua orang tua itu.

"Darimana anak sialan itu punya keberanian?"

Sejak itu perubahan drastis dialami Dimin. Hidupnya kian mapan. Status sosialnya tak diragukan. Dua kali lebaran ia nikmati sebagai pribadi yang dihormati. Ia juga donatur tetap bagi kegiatan warga kampung asalnya. Semua itu karena usaha kerasnya yang sarat dengan sumpah serapah orang-orang yang dirugikan.

Seiring waktu relasinya pun kian bertambah. Tiap orang seolah memiliki kepentingan bisnis dengannya. Kerap kali ia diundang jamuan makan malam untuk urusan proyek. Namun mendadak suatu kali ia ambruk dan pingsan ketika jamuan itu. Wajahnya pucat dan anggota badannya sulit digerakkan. Ia stroke kata dokter.

Segala upaya dilakukan namun tiada kemajuan. Pada akhirnya ia rela dipensiunkan, dan menjalani hari di pembaringan. Tahun terus berganti juga tak ada perubahan. Keluarga meratapi penderitaannya.

Belakangan Dimin sama sekali tak sanggup merangkai kata. Sebab itu sahabat dan kerabat pun silih berganti menengoknya. Termasuk mbah Jambrong yang dilihatnya di tengah malam itu.

Ia menyambutnya setelah sekian tahun tak bersua. Lalu perlahan ia bangkit, dan pergi bersamanya. Suara tangis istri, dan anak, serta kerabat mengiringi kepergiannya itu. 

Dimin sesaat menoleh ke pembaringan, dan melihat dirinya terkulai pucat dengan bola mata yang terbuka. Ia tak kuasa lagi menyentuh tubuhnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun