Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tumbal Proyek

21 September 2019   14:16 Diperbarui: 21 September 2019   14:20 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: Flickr, Atomic Indy)

Gemblung memang dikenal sebagai lurah kampung yang dikenal penjilat, biyong dan suka main perempuan. Tapi ia akui Dimin sangat berani menentang Aki Sanca, padahal dirinya selama ini takut bila berhadapan dengan kedua orang tua itu.

"Darimana anak sialan itu punya keberanian?"

Sejak itu perubahan drastis dialami Dimin. Hidupnya kian mapan. Status sosialnya tak diragukan. Dua kali lebaran ia nikmati sebagai pribadi yang dihormati. Ia juga donatur tetap bagi kegiatan warga kampung asalnya. Semua itu karena usaha kerasnya yang sarat dengan sumpah serapah orang-orang yang dirugikan.

Seiring waktu relasinya pun kian bertambah. Tiap orang seolah memiliki kepentingan bisnis dengannya. Kerap kali ia diundang jamuan makan malam untuk urusan proyek. Namun mendadak suatu kali ia ambruk dan pingsan ketika jamuan itu. Wajahnya pucat dan anggota badannya sulit digerakkan. Ia stroke kata dokter.

Segala upaya dilakukan namun tiada kemajuan. Pada akhirnya ia rela dipensiunkan, dan menjalani hari di pembaringan. Tahun terus berganti juga tak ada perubahan. Keluarga meratapi penderitaannya.

Belakangan Dimin sama sekali tak sanggup merangkai kata. Sebab itu sahabat dan kerabat pun silih berganti menengoknya. Termasuk mbah Jambrong yang dilihatnya di tengah malam itu.

Ia menyambutnya setelah sekian tahun tak bersua. Lalu perlahan ia bangkit, dan pergi bersamanya. Suara tangis istri, dan anak, serta kerabat mengiringi kepergiannya itu. 

Dimin sesaat menoleh ke pembaringan, dan melihat dirinya terkulai pucat dengan bola mata yang terbuka. Ia tak kuasa lagi menyentuh tubuhnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun