Mohon tunggu...
Catatan Lepas
Catatan Lepas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023) & "Melayat Mimpi" (2023)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penghapusan Tenaga Honorer, Solusi atau Masalah?

25 Januari 2022   20:19 Diperbarui: 26 Januari 2022   07:40 1640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru honorer (Sumber: shutterstock via kompas.com)

Visi Indonesia Emas 2045 telah ditetapkan, pendidikan menjadi salah satu pilar penting yang masuk dalam visi ini. Salah satu harapan bangsa adalah pemerataan dalam berbagai sektor kehidupan termasuk pendidikan. Namun, harapan itu akhirnya butuh tenaga ekstra ketika sejak tahun 2020 proses pendidikan dilakukan secara daring.

Situasi pendidikan kembali mendapat angin segar ketika diberlakukannya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) secara berkala hingga seratus persen di awal tahun 2022. Baru beberapa minggu diberlakukannya Pembelajaran Tatap Muka (PTM), beberapa sekolah akhirnya harus tutup karena adanya penyebaran virus omicron. 

Selain virus omicron, satu masalah yang cukup berpengaruh pada awal tahun adalah adanya rencana penghapusan tenaga honorer. Walaupun sudah lama dibicarakan, gemanya semakin keras di awal tahun ini mengingat puncaknya adalah 2023. Selain dua kasus ini, ada berbagai kabar buruk yang terjadi dalam dunia pendidikan menuju tercapainya Indonesia Emas 2045.

Kabar Buruk Situasi Pendidikan Awal Tahun

Visi Indonesia Emas 2045 sudah dicanangkan. Niat untuk menjadi negara maju seabad ada di depan mata. Pertanyaannya, sudah kuatkah fondasi pertahanan dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045?

Kantor Staf Presiden (2021) melaporkan bahwa ada lima visi Jokowi-Ma'ruf Amin dalam mewujudkan ini dan salah satunya adalah pembangunan manusia. Fokusnya adalah kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Berbagai program telah dilakukan agar semua orang bisa mendapat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.

Hingga saat ini, pemerintah masih butuh usaha lebih sehingga cita-cita pemerataan pendidikan dapat sampai ke daerah terpencil, kerja sama, komunikasi, dan pengawasan yang baik tentu menjadi kunci sehingga tidak hanya berhenti di tengah jalan atau hanya sebatas rencana demi rencana. 

Satu hal yang menjadi kesadaran bersama bahwa tidak mudah melakukan pemerataan pendidikan di wilayah kepulauan yang mempunyai tingkat penghasilan yang sumber daya yang berbeda. Namun, besar harapannya bahwa kekurangan ini tidak menjadi alasan untuk pelestarian kesenjangan pendidikan.

Belum selesai memikirkan tentang pemerataan pendidikan, sejak 2020 mau tidak mau sistem pendidikan mengharuskan daring karena serangan pandemi. Tidak ada cara yang bisa membantu proses pendidikan secara efektif selain melalui pemanfaatan media online. Mungkin sebagian orang masih ingat pernyataan seorang siswa dalam menanggapi efek buruk belajar online. 

Selain berbagai kekurangan yang dialami oleh beberapa siswa di daerah terpencil seperti harga ouota yang mahal, tidak adanya internet dan gadget, siswa merasa butuh pendampingan langsung dari guru.

"Karena seperti itu, bu. Kita kurang efektif tidak seperti di sekolah. Di sekolah kita dipantau langsung sama guru. Guru itu kan digugu dan ditiru. Dan ada wacana saya lihat di berita, saya gak tahu ini benar apa enggak, bahwa PJJ ini akan dilaksanakan dengan permanen. Sedangkan kalau kita belajar cuma mau pintar, google juga lebih pintar daripada sekolah", ungkap siswa tersebut.

 Walaupun pembelajaran online dinilai kurang efektif, ada berbagai kebaruan yang ditawarkan kepada dunia pendidikan. Namun, lagi-lagi harus diakui, tidak semua wilayah di Indonesia mendapatkan kebaruan dalam belajar online. Susah? Iya. Tidak heran jika daerah tertinggal akan tetap pada tempatnya. Internet menjadi salah satu faktor yang membuat penerapan belajar online kurang dirasakan para pelajar di daerah terpencil selama masa pandemi.

Kerinduan pelajar untuk sekolah tatap muka akhirnya bisa terpenuhi setelah adanya penurunan penyebaran virus. Walaupun dilakukan secara berkala, setidaknya bisa menciptakan situasi pendidikan seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Pada awal tahun 2022 beberapa sekolah akhirnya melakukan pembelajaran tatap muka 100 persen. Namun, berdasarkan berita dari Tempo.co pada 18 Januari 2022 dikatakan bahwa sebanyak 39 sekolah di Jakarta harus ditutup karena kasus virus covid-19 dan suspek omicron.

Selain masalah penyebaran virus yang belum berakhir di awal tahun 2022, proses pendidikan di kampus juga turut mendapat perhatian yang serius. 

Beberapa hari terakhir opini Kompas menyinggung mengenai kehidupan kampus. Di antaranya, "Menakar Guru Besar Kita", "Masih Bergunakah Sekolah Kita", "Kemunafikan dan Prostitusi Akademik", dan "Pendidikan Tinggi dan Ketimpangan". 

Beberapa opini ini mewarnai dinamika (yang dalam bahasanya Zuly Qodir dalam "Kemunafikan dan Prostitusi Akademik" perburuan gelar. Baik perguruan tinggi maupun sekolah dasar hingga menengah saat ini sama-sama berada dalam situasi yang baik-baik saja.

Pergantian kurikulum dari K-13 ke kurikulum prototipe dan masalah penghapusan tenaga honorer turut mewarnai dinamika pendidikan sekolah dasar dan menengah. Penerapan kurikulum yang baru ini tentu butuh waktu lama untuk bisa benar-benar diterapkan. 

Menurut Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek bahwa penerapan kurikulum ini berdasarkan pendaftaran, kesiapan sekolah, dan diterapkan secara penuh maupun parsial. 

"Siapa yang mendaftar akan memperoleh kesempatan untuk menerapkannya. Tidak ada seleksi, sebab jika ada seleksi maka ada yang diterima dan ditolak," ungkapnya.

Terciptanya sistem pendidikan yang lebih baik adalah harapan setiap pergantian kurikulum. Ini bukan berarti bahwa kurikulum bisa diubah begitu saja tetapi perlu adanya pertimbangan jangka panjang. 

Mengikuti bahasa yang disampaikan Eka Simanjuntak, Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan kurikulum baru adalah the man behind the gun. Lagi-lagi peran guru menjadi penentu keberhasilan penerapan kurikulum. Berkaitan dengan peran guru, ada wacana menarik di awal tahun yakni penghapusan tenaga honorer.

Penghapusan Tenaga Honorer, Solusi atau Masalah?

Wacana penghapusan tenaga honorer kembali terdengar. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara, Tjahjo Kumolo. 

Tawaran pun diberikan pemerintah kepada para tenaga honorer, yakni dengan menikuti tes CPNS dan PPPK. Alih-alih ingin memberikan tawaran, keputusan ini justru menimbulkan kekacauan dalam dunia pendidikan.

Keputusan ini bukanlah cara yang tepat untuk memperbaiki sistem pendidikan. Ada beberapa guru yang telah lama berdedikasi bagi dunia pendidikan harus berhenti jika hasil tes tidak mendukung. 

Walaupun berhadapan dengan berbagai tantangan seperti gaji yang rendah, letak geografis yang sulit, dan ditambah lagi dengan situasi pandemi, mereka tetap menjalankan tugasnya. Mereka juga lah yang telah membantu proses pendidikan selama belasan atau bahkan puluhan tahun.

Adapun alasan penghapusan tenaga kerja honorer dalam instansi pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan yakni rekrutmen tenaga honorer mengacaukan kebutuhan formasi ASN di instansi pemerintah, hal ini disampaikan oleh Tjahjo Kumolo. 

Secara tidak langsung, ada keinginan untuk membuat sebuah instansi menjadi lebih baik dengan berada dalam sebuah kendali yang tepat. Ini adalah sebuah keinginan yang patut disanjung. 

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana nasib dari para tenaga honorer yang telah lama mengabdi di sekolah pemerintah? 

Selain itu, bagaimana nasib sekolah swasta yang mana banyak tenaga honorer yang memilih untuk menjadi ASN atau PPPK dan setelah itu ditempatkan di tempat lain?

Kejadian ini sudah dialami Harun, Kepala Sekolah SMK PGRI 2 Kediri, Jawa Timur. Ia keget ketika 33 guru yang mengajar di sekolahnya mengikuti tes seleksi tahap 2 guru PPPK pada akhir 2021. Dalam waktu 10 hari, ia harus mencari guru pengganti agar para siswa tidak ketinggalan materi di semester genap (Koran Kompas, 10 Januari 2022). 

Ketertarikan untuk menjadi guru PPPK dan PNS tentu menjadi harapan mereka. Lalu, bagaimana dengan nasib sekolah swasta?

Bukan tidak mungkin penghapusan tenaga honorer akan menimbulkan masalah dalam lembaga pendidikan negeri dan swasta. Apalagi keputusan ini berlaku untuk sekolah yang mempunyai jumlah siswa yang banyak dan tenaga pengajar yang sedikit. 

Selain itu, banyak guru akan lebih memilih untuk menjadi PPPK dan PNS dan meninggakan sekolah tempat ia mengajar sebelumnya. 

Keputusan ini tentu akan berisiko jika mereka tidak lulus maka tidak mempunyai pekerjaan lagi. Peluang adanya pengangguran akan bertambah.

Alasan para tenaga honorer pindah dan mengikuti tes PPPK dan PNS adalah malasah ekonomi dan tidak ingin menjadi korban apabila penghapusan tenaga honorer benar-benar terjadi. 

Sangat disayangkan jika mempunyai visi yang besar untuk memajukan pendidikan namun para guru kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Atau ada agenda lain yang disiapkan dengan penghapusan tenaga honorer? Apakah ingin menciptakan tenaga pengajar yang berkompeten dengan melakukan berbagai seleksi yang ketat?

Pengalihan tenaga honorer bukan menjadi alasan yang tepat karena banyak sekolah akan kehilangan guru. Apalagi tes yang diberikan untuk menjadi guru PPPK dan PNS tidak mudah dan kemungkinan gagal tentu ada. 

Seharusnya tenaga honorer yang telah berjuang untuk memajukan pendidikan selama ini terus didukung oleh pemerintah dan perlunya pengawasan yang ketat. Lagi-lagi lembaga pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar) mesti mendapat porsi dukungan yang lebih. Sarana dan prasarana serta berbagai kebutuhan dalam pendidikan mesti diutama.

Saat ini, visi Indonesia Emas 2045 sudah ditentukan. Pembenahan dalam sistem pendidikan masih terus berlanjut. Kebijakan demi kebijakan ditetapkan. Namun, satu yang perlu diperhatikan bahwa semuanya tidak bisa berjalan jika tanpa kehadiran guru. 

Ada benarnya juga ketika seorang siswa yang mengatakan jika hanya ingin pintar, google lebih pintar dari sekolah tetapi peran guru tetap tidak bisa tergantikan. 

Pergantian kurikulum akan susah diterapkan jika the man behind the gun hanya dipandang sebelah mata atau memlilih untuk berhenti karena kalah dengan berbagai kebijakan. Rasanya perlu untuk memikirkan kembali rencana penghapusan tenaga honorer dalam bidang pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun