Lastri sudah beberapa kali meminta Sinta menitipkan kedua anak padanya, karena Lastri kini hanya di rumah saja, tanpa kegiatan apa-apa. Kedua anak Lastri sudah dewasa dan mandiri.
Apalagi Lastri sangat prihatin melihat Sinta sendirian mengurus keduanya sambil bekerja.
"Terima kasih, Mbak! Anak-anak pasti tak setuju, mereka berkata ingin selalu bersama-sama dalam suka maupun duka!" sahut Sinta masih sambil tersenyum.
Mereka berpisah di cafe itu. Sinta menjemput kedua anaknya yang sedang mengaji, lalu pulang ke rumah. Dia tak jadi menceritakan tentang penyakitnya kepada Lastri.
Saat Lastri pergi keluar kota tiba-tiba, karena mendapat kabar kedua orang tuanya sakit. Dia bermimpi didatangi Sinta yang berkata, "tolong segera datang dan sempurnakan kepergianku dan Robi-Dede... Maafkan setiap kesalahanku..".
Sekejap Sinta sudah menghilang seperti kabut. Tiba-tiba terdengar suara burung kedasih di atap rumah bersahutan. Tak lama sang ibu yang tengah sakit keras meninggal dunia. Lastripun melupakan mimpinya.
Setahun berlalu begitu saja. Sesaat Lastri seperti melihat Sinta, Robi dan Dede seakan melewatinya begitu saja. Dia mengejarnya, tapi bayangan ketiganya hilang bagai tertelan bumi.
Lastri teringat mimpinya, dan segera meminta Yogi, putranya untuk mengantarnya ke rumah Sinta.
Kini dia melihat ketiganya sudah terbujur menjadi kerangka. Sinta masih mengenakan mukena. Sedangkan Robi dan Dede, mengenakan baju koko lengkap.
Posisi mereka saling berpelukan. Air mata Lastri deras mengalir membasahi pipi.
"Maafin aku yang terlambat datang, Sin! Hiks, hiks ... ." ujar Lastri sesegukan.