"Ma, ngapain di dalam? Gelap begitu, ih!" tegur Yogi yang heran melihat mamanya tampak berdiri termangu di lorong penghubung kamar dan dapur.
Yogi menyorotkan lampu motornya ke dalam rumah, hingga membuat Lastri tersentak kaget. Dia mendapati rumah itu begitu gelap, dan tampak dirambat pohon melati hingga seperti semak belukar di dalam ruangan.
"Astaghfirullah al adziim!" pekiknya setelah mampu melihat di antara kegelapan.
Ada tiga tengkorak terbujur di tengah ruangan itu.
"Gi, telepon polisi!" perintah Lastri dengan lemas.
Dia jatuh terduduk dan menangis sesegukan. Semalam dia bermimpi didatangi Sinta, Dede dan Robi. Mereka tak berkata-kata, hanya tersenyum ke arahnya.
Sudah setahun ini Lastri tinggal di luar Jakarta. Dia tak sempat berpamitan ke Sinta dan kedua anaknya, karena hal yang mendesak.
Sinta janda beranak dua, tinggal sebatangkara di kota metropolitan itu. Bagi Lastri, Sinta sudah dianggap adik sendiri. Tiga hari sebelum kepergiannya yang mendadak itu, mereka bertemu di sebuah warung kopi.
"Sin, wajahmu kenapa terlihat cantik sekali?" tanya Lastri heran, "yakin nggak mau cari pengganti, nih?" godanya sambil mengaduk kopinya.
"Nggaklah, aku hanya ingin bertiga saja dengan anak-anak!" sahut Sinta sambil tersenyum.
"Kalo ada apa-apa hubungi aku, ya! Aku sudah tak punya bocil lagi, kalo dibolehin kedua anakmu biar kurawat aja, biar kamu fokus kerja." pinta Lastri mengulang permintaannya.