Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Sinta

26 Januari 2023   07:36 Diperbarui: 26 Januari 2023   07:46 220 1

Sinta
Karya. Ersalrif

Pagi menjelang, mengusir tirai gulita dari alam persada. Rona mentari menyibak hawa dingin, dan menggugah setiap insan untuk memulai aktifitas.

Terdengar dari sebuah rumah kecil, sudah hiruk pikuk dengan segala aktifitasnya sejak pagi buta. Terdengar suara tangis bocah kecil merobek kesunyian pagi.

"Mamaaa, jangan tinggalin Ade!" pekiknya menyayat hati.

"Sudah De, diam!" bujuk kakak lakinya yang bernama Robi.

Dede langsung mengusap air matanya dan memeluk tubuh sang ibu yang tiba-tiba terkulai dan dingin, sesaat setelah mengucapkan salam di shalat subuh terakhirnya.

Dede terus menciumi wajah sang ibu. Tangan kecilnya meraih tangan Sinta, ibunya itu dan diposisikan layaknya si ibu sedang memeluk tubuh kecilnya.

Sedangkan Robi, kakaknya yang berusia lima tahun, meluruskan tubuh sang ibu. Mereka berdua memeluk di kanan kiri tubuh Sinta, lalu melafazkan dua kalimat syahadat bersamaan.

Tak lama hening dan sunyi senyap melanda. Suara pekik Dede barusan tak mampu membangunkan kemalasan para tetangga mereka, untuk sekedar menengok keadaan bocah kecil itu.

Pagi beranjak siang hingga ke malam lagi. Pintu hijau rumah mungil yang terselip di antara rumah mewah dan gedung perkantoran itu, tak tampak aktifitas lagi sejak tiga kali sang surya timbul dan tenggelam.

Burung kedasih bernyanyi memberikan pertanda. Tak ada yang peka dan melihat sebagai sesuatu keanehan. Bahkan saat bau b4ngk4i semerbak, orang di sekeliling rumah itu tetap acuh, karena berpikir itu b4ngkai tikus.

Bulan berganti tahun. Rumah kecil itu tampak kumuh tak terawat.

"Assalamu'alaikum,"  Lastri mengetuk pintu hijau yang sudah dirambati pohon bunga melati.

Rumah itu semerbak oleh harum bunga melati, karena pohonnya menjalar ke mana-mana mengelilingi rumah itu, dengan  ratusan bunganya.

"Assalamu'alaikum, Sin, Dede, Robi?" panggil Lastri lebih keras.

"Nggak ada orangnya kali, Ma?" ujar Yogi dari motornya.

Kreeek!

Baru saja Yogi selesai bicara, pintu hijau itu terbuka dengan sendirinya. Tampak keadaan di dalam rumah gelap gulita. Hari memang sudah melewati senja.

"Sinta?" panggil Lastri seraya masuk ke dalam.

Dia melihat tiga sosok di ruangan itu, tampak sedang menunaikan shalat. Lastri melihat Dede memalingkan wajah dan tersenyum ke arahnya.

"Oh, kalian sedang sholat?' tanya Lastri dengan tatapan heran melihat keadaan di ruangan itu yang sangat tak wajar.

Di tepian ruangan itu tampak rembetan bunga melati yang tumbuh dengan rimbun. Ketiga sosok itu seakan shalat di tengah-tengah hamparan melati.

"Ma, ngapain di dalam? Gelap begitu, ih!" tegur Yogi yang heran melihat mamanya tampak berdiri termangu di lorong penghubung kamar dan dapur.

Yogi menyorotkan lampu motornya ke dalam rumah, hingga membuat Lastri tersentak kaget. Dia mendapati rumah itu begitu gelap, dan tampak dirambat pohon melati hingga seperti semak belukar di dalam ruangan.

"Astaghfirullah al adziim!" pekiknya setelah mampu melihat di antara kegelapan.

Ada tiga tengkorak terbujur di tengah ruangan itu.

"Gi, telepon polisi!" perintah Lastri dengan lemas.

Dia jatuh terduduk dan menangis sesegukan. Semalam dia bermimpi didatangi Sinta, Dede dan Robi. Mereka tak berkata-kata, hanya tersenyum ke arahnya.

Sudah setahun ini Lastri tinggal di luar Jakarta. Dia tak sempat berpamitan ke Sinta dan kedua anaknya, karena hal yang mendesak.

Sinta janda beranak dua, tinggal sebatangkara di kota metropolitan itu. Bagi Lastri, Sinta sudah dianggap adik sendiri. Tiga hari sebelum kepergiannya yang mendadak itu, mereka bertemu di sebuah warung kopi.

"Sin, wajahmu kenapa terlihat cantik sekali?" tanya Lastri heran, "yakin nggak mau cari pengganti, nih?" godanya sambil mengaduk kopinya.

"Nggaklah, aku hanya ingin bertiga saja dengan anak-anak!" sahut Sinta sambil tersenyum.

"Kalo ada apa-apa hubungi aku, ya! Aku sudah tak punya bocil lagi, kalo dibolehin kedua anakmu biar kurawat aja, biar kamu fokus kerja." pinta Lastri mengulang permintaannya.

Lastri sudah beberapa kali meminta Sinta menitipkan kedua anak padanya, karena Lastri kini hanya di rumah saja, tanpa kegiatan apa-apa. Kedua anak Lastri sudah dewasa dan mandiri.

Apalagi Lastri sangat prihatin melihat Sinta sendirian mengurus keduanya sambil bekerja.

"Terima kasih, Mbak! Anak-anak pasti tak setuju, mereka berkata ingin selalu bersama-sama dalam suka maupun duka!" sahut Sinta masih sambil tersenyum.

Mereka berpisah di cafe itu. Sinta menjemput kedua anaknya yang sedang mengaji, lalu pulang ke rumah. Dia tak jadi menceritakan tentang penyakitnya kepada Lastri.

Saat Lastri pergi keluar kota tiba-tiba, karena mendapat kabar kedua orang tuanya sakit. Dia bermimpi didatangi Sinta yang berkata, "tolong segera datang dan sempurnakan kepergianku dan Robi-Dede... Maafkan setiap kesalahanku..".

Sekejap Sinta sudah menghilang seperti kabut. Tiba-tiba terdengar suara burung kedasih di atap rumah bersahutan. Tak lama sang ibu yang tengah sakit keras meninggal dunia. Lastripun melupakan mimpinya.

Setahun berlalu begitu saja. Sesaat Lastri seperti melihat Sinta, Robi dan Dede seakan melewatinya begitu saja. Dia mengejarnya, tapi bayangan ketiganya hilang bagai tertelan bumi.

Lastri teringat mimpinya, dan segera meminta Yogi, putranya untuk mengantarnya ke rumah Sinta.

Kini dia melihat ketiganya sudah terbujur menjadi kerangka. Sinta masih mengenakan mukena. Sedangkan Robi dan Dede, mengenakan baju koko lengkap.

Posisi mereka saling berpelukan. Air mata Lastri deras mengalir membasahi pipi.

"Maafin aku yang terlambat datang, Sin! Hiks, hiks ... ." ujar Lastri sesegukan.

"Sudah, Ma... Mereka sudah tenang di sana. Sudah tidak merasakan sakit, sedih lagi. Jasadnya akan diotopsi, lalu segera kita makamkan dengan layak!" bujuk Yogi menenangkan sang ibu.

"Sungguh aneh tetangga di sini, masa ada orang meninggal nggak tau?" desis Lastri sambil menatap tajam seorang wanita yang berada tepat di depan rumah Sinta.

Wanita yang pernah memfitnah Sinta itu, tampak menghindari tatapan Lastri. Dia segera masuk ke dalam rumah, menutup gerbang rumahnya dengan keras.

"Bu Rita kenapa, tuh? Jahat banget, sih? Orang yang dibencinya sudah meninggal, nggak ada hati banget, sih, banting pintu saat jenazah belum pergi?" terdengar beberapa tetangga  mengomentari kelakuan Rita.

Posisi rumah Sinta dan Rita memang saling berhadapan, tapi di sekeliling mereka ada pagar tinggi deretan rumah kontrakan milik Rita, dan juga gedung perkantoran.

Sinta hidup dikucilkan lingkungan, karena Rita menyebarkan fitnah. Dia mengatakan Sinta sebagai penggoda suami orang dan lain sebagainya.

Setelah semua proses evakuasi selesai. Rita tampak termangu memandangi rumah pintu hijau itu, dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua.

"Sudah menjadi tengkorak, tapiii... Kenapa tiap malam aku melihat perempuan sund4l itu sedang menyalakan lampu dan duduk di teras itu, ya?" desisnya pelan.

Jam di ruang tengah berdentang dua kali. Mobil polisi, ambulan, dan orang-orang sudah bubar, meninggalkan lokasi. Suasana di sekitar rumah pintu hijaupun kembali senyap seperti biasanya.

Rita masih belum bisa tidur. Matanya tak bisa terpejam.

Malahan kini dia duduk menatap keluar jendela, menatap rumah kecil di hadapannya itu. Rumah Sinta, wanita yang dibencinya tanpa sebab.

Tiba-tiba matanya melihat rumah itu benderang, dan tampak Sinta keluar dari rumahnya dan duduk di teras. Mata Sinta menatap ke arah Rita, yang langsung menggigil ketakutan.

Rita spontan menutup tirai jendelanya dengan pucat pasi. Dia segera berbaring di sebelah suaminya dan menarik selimut hingga ke kepala, dan mencoba memejamkan mata.

Dia menggigil ketakutan setiap membuka tirai jendela kamarnya itu. Dulu dia sering menatap benci ke arah pintu berwarna hijau itu. Menatap sinis ke arah Sinta, setiap kali berpapasan.

Kini dia tak berani membuka tirai jendela itu.
Setiap malam saat melewati rumah Sinta, dia selalu melihat Sinta tersenyum padanya dan melambaikan tangan.

Sosok Sinta hanya dilihatnya sendiri. Setiap dia menanyakan orang yang bersamanya, tak ada yang melihatnya. Seakan sosok itu muncul hanya untuk menakutinya.

Akhirnya Rita memutuskan tinggal di villa, untuk menghindari bayangan Sinta. Dia sangat ketakutan pada bayangan Sinta, yang tak pernah ada itu. Mungkin dia hanya dibayangi rasa bersalahnya pada Sinta.

Orang yang sudah didzoliminya, tanpa membalas sedikitpun. Sinta tetap tersenyum padanya saat berpapasan, walau Rita memasang wajah tak bersahabat.

Hal itu berawal dari ketidak sukaan Rita, atas pujian suaminya pada Sinta.

"Kamu itu harus mawas diri lah, Ma! Jangan arogan jadi orang..., nyumbang fakir miskin, anak yatim kok jauh-jauh? Sedangkan anak yatim di depan mata diacuhkan... Group kalian itu hanya untuk pencitraan aja! Nggak tulus dalam berbuat baik..." celoteh suaminya suatu pagi.

Rita kesal sekali mendengarnya. Dia malah balik menuduh suaminya ada main dengan Sinta. Ada beberapa kali Rita melihat sang suami memberi amplop pada Robi atau Dede.

Hatinya terbakar cemburu buta. Padahal dia tak pernah melihat suaminya dan Sinta berduaan. Namun dia mengarang cerita itu di group arisannya. Cerita Ritapun beredar di lingkungan sekitar. Menjadikan Sinta wanita yang dimusuhi.

Setelah beberapa lama Rita tinggal di villa. Dia mendapati sang suami kedapatan selingkuh. Bahkan istri muda suaminya itu sudah tinggal di rumah yang dia tinggalkan selama ini. Sangat mengejutkan sekali, istri muda suaminya itu juga bernama Sinta.

Tamat.

Jakarta, 26 Januari 2023.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun