Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskursus Kemiskinan

13 Desember 2022   09:05 Diperbarui: 4 Maret 2024   16:11 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilusatrasi  salah satu kondisi kemiskinan di Indonesia (Sumber gambar: detik.com)

Sebagai akibat kekeliruan kebijakan struktural terjadi karena tidak ada konsistensi kebijakan yang baik dan benar dalam jangka panjang. Harus diakui, kebijakan restrukturisasi ekonomi yang baik dan perlu efeknya baru terasa pada jangka panjang.

Sang Pelahap?

Apa yang terjadi di Indonesia? Sebelum efek krisis alias resesi memengaruhi kehidupan masyarakat, telah ada pergantian kebijakan karena perubahan pemerintahan maupun karena tekanan kelompok-kelompok kepentingan. 

Apakah itu kepentingan politik dan ideologis maupun kepentingan ekonomi kroni tertentu.

Kita diberitahu melalui pernyataan, dimana kehidupan berbangsa dan bernegara terus didera dengan berbagai ujian berat. Setelah itu, pada saat yang sama peran ekonomi kroni memainkan suatu permainan terutama dalam perekonomian justru semakin besar.

Saya dan mungkin Anda ingat. Dulu, corak ekonomi kroni semakin memusatkan distribusi nilai tambah pada sekelompok kecil orang yang dekat dengan penguasa. Keadaan Indonesia berdasarkan indeks ekonomi kroni seperti yang dibuat The Econimist. Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk.


Belajar dari jejak-jejak masa lalu, mengapa tidak? Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Indeks crony capitalism Indonesia berada di urutan ke-7 terburuk di dunia. Lantas, peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2007 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016.

Kita mengedipkan mata sejenak terhadap praktik bisnis kroni yang memiliki kecenderungan menguat karena akses pengusaha kakap atau kuasa negara semakin mudah. Berdasarkan analisis media menyebutkan bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi.

Tidak ada lagi batas antara kuasa dan pengusaha nampak lebih memiliki keintiman. Dalam pikiran, fantasi dan mimpi generasi kita terhadap wakil rakyat par excellence di parlemen, ternyata tidak lebih dari kelahiran spesies nomadik ditandai dengan wajah sekawanan pebisnis didalamnya.

Kita perlu merefleksikan apa-apa yang menjadi penelusuran Tempo dan Auriga Nusantara menemukan sedikitnya 262 nama Anggota DPR (2019-2024) berlatar belakang pengusaha yang akan memasuki tahapan pembahasan rancangan undang-undang dinilai oleh masyarakat kritis begitu kontroversial.

Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris hingga menduduki kursi direksi di lebih dari seribu perusahaan. Hasrat pengusaha untuk berbisnis mencakup sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif. Hasrat itulah yang bernama oligarki menjadi suatu genre pemikiran nomadik yang berkembang dan menyebar ke seluruh Fraksi di parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun