Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #10

15 Januari 2024   14:46 Diperbarui: 15 Januari 2024   15:04 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/dok pribadi

"Karena kamu dibutakan oleh...pengejaran filosofis ini!" Dia memberi isyarat dengan liar, tangannya membelah udara di antara mereka. "Bagaimana jika kamu mencapai akhir dan menyadari semuanya sia-sia?"

"Kalau begitu setidaknya aku akan hidup jujur pada diriku sendiri! Bukankah itu sesuatu yang berharga?" Aditya merasa tenggorokannya tercekat saat ia bergulat dengan kenyataan bahwa Dinda, orang kepercayaannya sekaligus pemandu sorak, meragukan jati dirinya.

"Tapi, apakah pantas kehilangan segalanya? Iya kan, Adit?" Suaranya pecah, memperlihatkan fasad baja yang dipegangnya.

"Kadang-kadang..." Dia menelan ludah, kepahitan konfrontasi lebih tajam daripada daging panggang yang paling gelap. "...terkadang memang harus begitu."

Keheningan yang terjadi kemudian terasa berat, sarat dengan ketakutan yang tak terucapkan dan sisa percakapan sengit mereka. Dada Aditya naik dan turun setiap kali dia bernapas dengan susah payah, dan setelah kejadian itu, dia menyadari betapa banyak dirinya yang telah dia ungkapkan---dan betapa rentannya hal itu yang membuatnya merasa.

Aditya berpaling dari Dinda, pandangannya tertuju pada satu-satunya tanaman kopi yang tumbuh subur di balkon mereka. Daunnya yang mengkilap berkilauan di bawah sinar matahari buatan di kubah habitat, sangat kontras dengan kekacauan yang terjadi di dalam dirinya. Keheningan di ruangan itu terasa menyesakkan, bermuatan sisa-sisa bentrokan mereka. Dia mengulurkan tangan, ujung jarinya menyentuh dedaunan yang berlilin, menggambar paralel antara perjuangan tanaman untuk hidup dalam lingkungan yang terkendali dan perjuangannya sendiri untuk mendapatkan keaslian.

"Adit," suara Dinda kini lebih lembut, diwarnai kekhawatiran, namun tak mampu meredakan rasa perih pengkhianatan. "Lihat saya."

Dia ragu-ragu, merasakan beban tatapannya, berat seperti tarikan bintang yang sekarat. Ketika dia akhirnya menatap matanya, ada permohonan dalam diri mereka, seruan diam-diam untuk persatuan yang pernah mereka miliki. Namun jurang di antara mereka telah melebar terlalu lebar, dipenuhi puing-puing keraguan dan manipulasi.

"Rizky tidak memahamimu seperti aku," lanjutnya, melintasi ruangan untuk berdiri di sampingnya. Tangannya melayang di atas tangan pria itu, satu inci dari kontaknya, seolah-olah dia takut untuk menyentuhnya sekarang. "Dia tidak melihat visimu."

"Benarkah?" Suara Aditya merupakan campuran antara kepahitan dan kesedihan. "Atau apakah dia hanya melukiskan gambaran yang berbeda, yang lebih menarik rasa ambisimu?"

"Adit..." Dia menarik tangannya, rasa sakit melintas di wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun