Mohon tunggu...
Enggar Dhian Pratamanti
Enggar Dhian Pratamanti Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Penulis, Pegiat Literasi

Tinggal di Semarang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pagi's Diary 1>> Bencana JCO

2 November 2015   11:21 Diperbarui: 2 November 2015   11:36 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Nggak tahu dari mana asalnya tiba-tiba kebayang nama Paginanda Ananta nyliwer di benakku. Sekalian aja ngebayangin kalau nama ‘rada aneh’ ini milik cewek imut berambut cepak yang ngegemesin semua orang. Selain muka yang imut, pemilik panggilan Pagi ini juga punya tingkah lucu yang asyik. Punya bakat menghibur dan bikin ketawa. Selera fashion-nya pun keren dan nggak mbosenin dipandang mata.

Kadang tingkah Pagi bisa membuat jengkel orang-orang di sekitarnya. Tapi jangan khawatir, Pagi punya segudang celoteh dan tingkah yang bisa bikin kita pengin nyubit pipi bakpaonya.

Nah... Setiap hari Senin dan Jumat selama beberapa pekan akan saya upload cerita serial tentang Pagi. Selamat membaca. Biar tau ada yang suka atau enggak, mbosenin atau menarik, silakan tinggalkan komentar ya... peluk hangat dari penulis dan selamat membaca ^_^

"Ah... nggak keren deh. Masa baru jalan bentar aja udah capek,” Pagi ngomong tanpa memandang Mia. Matanya sibuk menjelajahi isi etalase toko dan outlet-outlet yang mereka lewati.

Pagi emang doyan banget jalan-jalan. Apalagi ke mall. Mamanya sampai perlu ngatur jadwalnya ke mall sebulan dua kali biar Pagi nggak kelewat batas. Maklum, Mama Pagi emang penganut aliran disiplin militer walaupun beliau bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri tak jauh dari tempat tinggal Pagi.

Uphz, Pagi? Trus ada siang? Malam? Sore? Ya enggak lah. Pagi itu nama manusia. Tepatnya makluk aneh berbentuk manusia berambut cepak gaya cowok yang disemir blue black. Badannya jauh dari kata ideal. Tinginya cuma 157 cm dengan berat badan 43 kg. Cocoklah kalau disebut bertubuh imut. Bibirnya lebih pantas disebut petasan cina daripada bibir manusia. Hati-hati aja kalau ketemu.


Nih anak kalau udah ngomong nggak bakal gampang berhenti. Nama panjangnya Paginanda Ananta. Menurut dia panggilan “Pagi” lebih keren dari bagian namanya yang lain. Jadi dia bakal marah kalau dipanggil dengan sebutan lain selain “Pagi”. Camkan itu kisanak.

Tapi jangan salah, meskipun punya seabreg ciri-ciri aneh, Pagi punya banyak kelebihan kok. Pagi nggak bisa nggak disebut pintar. Sejak SD Pagi selalu berhasil menyabet juara kelas. Selera fashion-nya juga oke. Pergaulannya? Jangan tanya deh. Selain itu Pagi juga punya bakat lain. Apa? Ada deh... lihat aja ntar.

“Bentar??? Perasaan udah keliling lantai 3 empat kali deh,” Mia menirukan gaya cape’ dech-nya banci-banci Kota Lama. Nggak heran kalau Mia, sahabat kental Pagi yang satu ini, nggak betah jalan kaki lama-lama. Pembawaannya halus baget kayak putri Solo yang lagi sakit mag. Jadi jalannya pelaaan bangeeet. Pokoknya ulat bulu kalah deh.

“He’emh. Udah keliling lantai 1 dua kali. Trus naik turun eskalator lima kali. Trus ke toilet dua kali,” Ade merocos nggak jelas. Ngapain bawa toilet segala coba? Jorok ah.

“Kan kalian juga menikmati. Bisa jalan-jalan ke mall tanpa orang tua kayak gini kan kesempatan jarang. Apalagi pas jam sekolah,” Pagi masih cuek aja. Asyik dengan kegiatan cuci-cuci matanya.

“Jarang sih jarang. Tapi kalau over gini mah namanya penyiksaan tingkat tinggi. Udah kayak latihan perang aja,” Mia mengurut-urut kakinya yang panjang semampai.

“Setuju. Aku nunggu sini deh. Sono terusin sendiri,” Ade menyandarkan tubuhnya di tepi eskalator yang mereka lewati.

“Ikut Ade aja ah. Aku rela jongkok di sini kayak orang udik daripada harus ngikut kamu muter-muter lagi,” Mia siap-siap pasang aksi jongkok kayak pemudik lagi nunggu kereta datang.

Ade, sahabat Pagi yang satu lagi, meskipun cowok sama aja nggak kuat jalan. Gimana nggak, mau beli soto di depan gang rumah aja harus pakai mobil. Dasar anak tajir manja.

“Idiiih... kok gitu sih?” Pagi pasang muka cemberut.

“Lah kamu tega ngliat kita-kita pingsan sebelum nyampe rumah? Siapa yang mau gendong? Kan kamu juga yang repot,” Ade kipas-kipas pakai tangan. Padahal Paragon kan dingin. AC-nya adem banget. Namanya juga mall.

“Iya deh, iya. Abis ini langsung pulang deh. Tapi muter satu kali lagi ya? Iya dong. Ya ya? Ntar aku jajanin wes,” Pagi ngerayu sahabat-sahabat manjanya. Rambut cepaknya yang lurus bergoyang-goyang cepat.

“Aku nggak butuh jajan macem-macem. Yang penting minum. Haus banget tau.”

“Asyik... gampang deh. Mau minum satu gentong juga bakal aku beliin,” Pagi menggandeng tangan Mia dan Ade. Lebih tepatnya menyeret.

Setelah sukses mengitari lantai 2 Paragon sekali putaran lagi, mereka beranjak ke eskalator. Terdengar hembusan nafas lega Mia dan Ade. Bersyukur banget sahabat mereka yang satu ini segera insyaf.

“Tuan dan nyonya mau minum apa? Hamba siap mentraktir deh,” Pagi mengedip-kedip ke arah Mia dan Ade.

“Apa aja!” Pagi cemberut mendengar jawaban Mia dan Ade yang kompak abis kayak regu koor. Kayaknya mereka udah BeTe banget.

“Ke situ deh yang deket. Daripada kalian keburu pingsan,” Pagi menunjuk sebuah stand dengan tulisan JCO warna cokelat di atasnya. Mereka kan suka banget sama cokelat. Mia dan Ade yang udah nggak berdaya membuntut di belakang Pagi.

“Mbak pesan 3 gelas ya,” Pagi menyebutkan salah satu menu dan beringsut ke sofa empuk terdekat. Dia memang sering diajak ke sini sama mamanya kalo mama lagi berbaik hati.

“Pagiii... bayar dong. Katanya mau nraktir,” omel Mia. Dasar ibu-ibu ini.

“Berapa, Mbak?” Pagi melompat dari duduknya sembari merogoh saku.

“Rp 275.000,00 mbak.”

“Hah??? Komputernya eror kali, Mbak. Kok mahal amat. Coklat di kantin sekolah aja cuma Rp 2.000,00 segelas,” Pagi protes sambil teriak-teriak. Malu-maluin deh.

“Nggak, Mbak. Benar kok,” si mbak kasir tersenyum manis banget. Kalau nggak lagi kaget gini Pagi pasti udah muji si mbak kasir abis-abisan.

“Duh... kok mahal banget sih? Padahal kan uangku tinggal segini,” Pagi menunjukkan selembar lima puluh ribuan yang udah lecek.

“Hmmh... makanya jangan sok belagu. Nih pakai punyaku dulu,” Ade mengeluarkan tiga lembar seratus ribuan. Pagi cuma meringis malu.

“Makanya kalau nggak punya duit beli es teh aja di sono,” Mia menunjuk pedagang kali lima di seberang Paragon. Setelah menghabiskan cokelat dan donat yang mereka dapat sampai tuntas tas, mereka bertiga buru-buru pergi ke parkiran.

“Mama nggak pernah bilang sih kalo di JCO mahaaal,” rutuk Pagi tengsin. Ah, benar-benar bencana. Uang sakunya kan jadi abis. Mana masih utang sama Ade lagi.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun