Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pandemi dan Pesan Simbolik 75 Tahun Indonesia Merdeka

24 Agustus 2020   10:26 Diperbarui: 24 Agustus 2020   10:34 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : eN-Te

Tak dapat dipungkiri bahwa perjalanan bangsa ini telah melalui tahapan yang sangat krusial dan mengagumkan. Krusial dan mengagumkan karena mulai dari masa penjajahan Belanda, kemudian beralih tangan ke fasisme Jepang, lalu berani menentukan nasibnya sendiri dengan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 

Tak berhenti, kembali rakyat Indonesia harus berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai pada pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tahun 1949. Sejak pengakuan hingga sekarang, dengan berbagai dinamika sosial politik telah membentuk Indonesia dan seluruh anak bangsa sebagai sebuah entitas dunia seperti hari ini.

Dalam rentang waktu lebih dari tujuh dekade (75 tahun) kita telah menyaksikan berbagai peristiwa di dunia yang turut pula memberi warna pada perjalanan bangsa ini, baik itu peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Apakah semua dinamika tersebut telah membentuk Indonesia sebagaimana tujuan dihadirkan negara ini sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945? 

Adakah situasi dunia saat ini turut pula memberi dampak terhadap perhelatan peringatan hari ulang tahun sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat? Dan bagaimana momentum pandemi saat ini dapat memberi inspirasi untuk merayakan kemerdekaan tanpa menafikkan kondisi faktual tentang keberagaman?

Virus Wuhan

Pada akhir Desember 2019, dunia dikejutkan oleh sebuah penyakit baru yang disebabkan oleh virus yang menyerang saluran pernapasan atas. Awal mula virus itu menyebar di Kota Wuhan, China (RRT). Penyakit tersebut dengan mudah menyebar dan menyerang setiap orang yang terpapar virus, yang di berbagai pemberitaan awal dikenal sebagai virus Wuhan (karena ditemukan untuk pertama kalinya di Kota Wuhan).

Dalam sekejap pasien dengan cepat bertambah. Semakin hari pertambahan pasien semakin melonjak tajam, hingga fasilitas kesehatan dan tenaga medis kewalahan menanganinya. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah China pun mengambil langkah cepat dan strategis-taktis.

Dengan cepat Pemerintah China melakukan penutupan atau karantina wilayah (lockdown) Kota Wuhan untuk mencegah penyebaran virus ini menjadi lebih massif dan tak terkendali. Kebijakan karantina wilayah tersebut diambil setelah mengetahui bahwa penularan virus ini telah terjadi antarmanusia. Kota Wuhan dalam sekejap berubah sunyi bagai kota mati (hantu).

Pemerintah China pun dengan sigap mendirikan fasilitas rumah sakit darurat dengan daya tampung cukup besar dalam waktu yang sangat fantastis. Sungguh di luar dugaan, hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari dua minggu fasilitas rumah sakit dengan berbagai alat canggih lengkap dapat berfungsi dan beroperasi. Tenaga medispun didatangkan dari luar Kota Wuhan untuk memberi supporting terhadap penanganan pasien.  

Gerak cepat yang dilakukan oleh Pemerintah China (Kota Wuhan) membuahkan hasil. Terhitung sejak awal muncul dan menyebar virus ini, dengan berbagai langkah strategis dan taktis yang dilakukan, Pemerintah China dapat mencegah meluasnya pertambahan pasien dan untuk sementara mampu "membebaskan" Kota Wuhan dari virus mematikan tersebut, relatif hanya dalam waktu 4 bulan, terhitung sejak virus untuk pertama kali ditemukan.

Pandemi Covid-19

Menyadari apa yang sedang terjadi di Kota Wuhan Provinsi Hubei (China), dunia pun merespon dengan melakukan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah penyakit ini bertambah meluas. Berbagai negara di dunia mengambil sikap untuk melarang warganya maupun warga asing ke luar masuk ke negara mereka, terutama dari China.

Virus Wuhan ini kemudian oleh para ahli diidentifikasi sebagai jenis corona virus, sehingga oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) diberi nama dengan sebutan corona virus desease 2019 (Covid-19). Angka 2019 merujuk pada tahun untuk pertama kalinya virus itu teridentifikasi dan menyebar serta menjangkiti manusia. 

Karena persebarannya sangat cepat dan massif, dan nyaris semua negara di dunia telah terjangkit (tak terkecuali juga Indonesia), sehingga penyebaran virus ini oleh WHO dikategorikan sebagai pandemi. Pandemi adalah penyakit yang menyebar secara global meliputi area geografis yang luas.

Kasus Covid-19 di Indonesia

Di Indonesia, pasien pertama terkonfirmasi terpapar Covid-19 pada awal Maret 2020. Maka mulai saat itu, dengan membaca dan melihat apa yang telah terjadi di Kota Wuhan Provinsi Hubei China, sudah dapat diprediksi bahwa penanganan kasus Covid-19 di Indonesia tidak akan mudah. 

Mengingat negara kita merupakan negara kepulauan dengan geografis yang terpisah antarpulau, namun antara yang satu dengan lainnya saling interkoneksi. Sehingga kesalahan dalam pengambilan kebijakan dalam melakukan karantina akan menimbulkan dampak sosial politik yang tidak mudah ditebak.

Apalagi ada anasir-anasir yang ingin memanfaat situasi ini dengan melakukan politik "belah bambu". Ada kelompok-kelompok politik partisan yang mencoba mengail di air keruh, memancing situasi chaos untuk menangguk keuntungan politik jangka pendek demi syahwat politik yang tak pernah tercapai melalui saluran politik resmi dan konstitusional.

Terhitung sampai tanggal 22 Agustus 2020, pasien terkonfirmasi secara nasional telah mencapai angka akumulatif sebanyak 151.498 kasus positif, dan tersebar pada 485 kabupaten/kota di 34 propinsi di Indonesia. 

Dari jumlah tersebut, terdapat 105.198 orang pasien telah dinyatakan sembuh, sedang yang meninggal dunia sebanyak 6.594 orang (Kompas.com, 22/8/2019). Angka akumulatif positif tersebut boleh jadi termasuk pula beberapa teman kita di LPMP Sulawesi Selatan yang beberapa minggu lalu terkonfirmasi positif terpapar Covid-19.

Trend tersebut seakan mengindikasikan bahwa pertambahan jumlah yang terpapar Covid-19 masih belum menunjukkan tanda-tanda menuju grafik yang melandai, bahkan menurun. Sehingga perlu kerja keras dan sikap kebersamaan dari semua elemen bangsa untuk secara bergotong royong menyatukan hati dan pikiran bersama-sama membangun komitmen untuk mengakhiri situasi pandemi ini. 

Dengan demikian diharapkan hari-hari selanjutnya dapat memberi optimisme yang membongkah untuk menatap masa depan dengan perasaan yang rileks tanpa was-was, yang berpotensi menimbulkan kecemasan (stress), yang akan berdampak pada imunitas tubuh.   

Nuansa Peringatan HUT ke-75 

Sejak pandemi Covid-19 melanda seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia, dunia seakan tenggelam dalam rasa ketakutan dan pesimisme. Hal mana, akibat  penyebaran Covid-19 yang sangat massif dan cepat sehingga berbagai aspek kehidupan turut terdampak. Apalagi WHO kemudian melansir bahwa Covid-19 dapat menyebar melalui perantaraan udara (airbone).

Di tengah kegamangan menghadapi "serangan" Covid-19, Indonesia pada tahun ini merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-75. Dihitung sejak 17 Agustus 1945 ketika Bung Karno (BK) dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama Bangsa Indonesia, berarti perjalanan bangsa ini sudah melalui rentang waktu 3/4 abad. 

Sebuah lintasan sejarah yang cukup panjang dengan berbagai pernak pernik dinamika sosial maupun politik yang menyertainya. Kadang membongkah sebuah harapan besar, tapi di balik itu tersembul pula keriuhan gaduh yang mencemaskan. Mencemaskan, karena dapat menjadi embrio terjadinya friksi dan tercerai berainya persatuan dan kesatuan yang sekian ratus tahun telah dirajut-satukan oleh para pejuang dan pahlwan bangsa, yang rela gugur mendahului kita sebagai kusuma bangsa.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini nuansa peringatan HUT RI ke-75 sungguh sangat berbeda. Jika pada 74 tahun sebelumnya, kita merayakan HUT sebagai sebuah bangsa merdeka dengan semangat heroik yang menggelora dan penuh sorak sorai kegembiraan. Tapi pada tahun ini (HUT ke-75), suasana semarak penuh euforia seperti tergambar pada peringatan kemerdekaan RI pada tahun-tahun sebelumnya, terasa seperti ada suasana merdeka yang terenggut.

Hal mana karena pada saat bersamaan di seluruh belahan dunia, tak terkecuali Indonesia, sedang menghadapi sebuah kondisi yang tidak mudah. Yakni "serangan" pandemi Covid-19, yang entah sampai tahun kapan akan berakhir, sungguh sangat tidak mudah ditebak  (unpredictable).

Refleksi-Kontemplatif dan Pesan Simbolik

Kemerdekaan Indonesia yang ke-75 seolah terenggut oleh sesuatu yang di luar kendali dan kuasa kemanusiaan kita. Pandemi Covid-19 telah menjadi "penjajah" baru yang mencoba mengintimidasi dan mengambil paksa kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.    

Kondisi dan nuansa kebatinan yang berbeda tahun ini sehingga memaksa peringatan HUT RI yang ke-75 harus dilakukan dalam suasana yang penuh dengan keprihatinan. Optimisme yang selama ini dicobakembangkan seakan luruh oleh sebuah makhluk tak kasat mata yang bernama Covid-19. Meski dalam keprihatinan itu muncul berbagai dugaan dan asumsi, yang cenderung juga dipaksakan agar menemukan rasionalitasnya.

Teori konspirasi pun muncul, seolah-olah berasal dari ruang hampa. Meski disadari bahwa teori itu muncul tidak sekonyong-konyong. Berbagai fenomena dan fakta aktual turut pula memberi alas justifikasi.

Sayangnya, semua dugaan, asumsi, dan teori terkait munculnya makhluk tak kasat mata bernama Covid-19 itu, tidak serta merta memberi ruang leluasa untuk kita bisa menarik suatu benang merah menemukan kebenaran hakiki, apa sesungguhnya yang telah terjadi dan yang sedang melanda bumi ini? Adakah di balik itu tersembunyi sebuah hikmah tentang kehadiran makhluk tak kasat mata sebagai peringatan dan teguran atas kepongahan kita sebagai makhluk yang paling mulia, tapi tak becus menjaga dan merawat bumi ini?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif-kontemplatif seperti ini hendaknya juga hadir di relung hati kita agar bisa memaksa kita untuk merenung dan berpikir. Sejauh mana kita, dalam perspektif agama samawi disebut sebagai makhluk yang paling mulia, tapi pada kondisi faktualnya seakan rapuh dari esensi identitas kemuliaan itu. Kita cenderung abai akan peringatan Tuhan, Allah Ajja wa Jalla, tentang konsekuensi logis bila mengabaikan amanah sebagai khalifatul fil ardi (QS. 2:30).

Sungguh sebagai makhluk yang paling mulia, sebaik-baik makhluk (QS. 95:4) di antara semua makhluk ciptaan-Nya, kita, manusia cenderung menafikkan peringatan Ilahi, tentang kemungkinan derajat kemuliaan kita akan terdegradasi sampai pada titik yang paling rendah (titik nadir), asfala syafiliin (QS 95:5). Bahkan berpotensi serendah-rendah hewan ternak, kal'an aam balhum adallu (QS. 7:179), jika kita berlaku tak sepantasnya sesuai tuntunan dalam menjaga dan merawat bumi dan lingkungan alamnya. 

Sama halnya dengan merawat dan mejaga "kelestarian" negeri kesatuan ini dari anasir-anasir yang kurang merasa bersyukur dan berterima kasih atas "hadiah" terbesar dari para founding father kita berupa negara kesatuan ini. Bangsa merdeka ini dibangun di atas landasan persatuan dari beragam suku bangsa, ethnis, bahasa, adat istiadat, dan agama yang berbeda. 

Sehingga jika ada anasir yang ujug-ujug hadir menawarkan sebuah konsep beraroma uthopis, maka seharusnya disikapi (baca ditolak) secara tegas. Karena bila membiarkan anasir yang seperti ini atas nama kebebasan yang dijamin konstitusi dapat menjadi virus yang memungkinkan menjadi embrio diskriminasi dan dikhotomis yang memisahkan antaranak bangsa, dan berpotensi merusak persatuan dan kesatuan NKRI. 

Menyadari hal itu, sehingga sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah dengan secara apik mengajak setiap elemen bangsa untuk kembali mengingat sekaligus merawat kemerdekaan ini dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. 

Bahwa bangsa ini terbentuk dan dibangun atas  beragam ethnis, suku bangsa, adat istiadat, bahasa, dan agama yang berlainan. Karena itu, jika memaksakan sebuah kehendak politik (political will) yang berbasis suatu paham keagamaan tertentu akan dapat menjadi "api dalam sekam", yang sewaktu-waktu dapat membakar negeri ini sehingga hanya tinggal puing-puing yang tak berarti lagi.

Presiden mengenakan pakaian adat daerah tertentu pada momen-momen resmi dan penting, seperti HUT RI ke-75 beberapa hari lalu sebagai isyarat simbolik akan pentingnya menghargai keberagaman yang menghiasi negeri zamrud khatulistiwa yang harus terus dipelihara dan dijaga. Hal itu seolah memberi "warning", bahwa upaya penyeragaman atas alas keagamaan seakan menolak kebesaran Ilahi. Mengingat, keberagaman juga merupakan sunnatullah (QS. 49:13), sesuatu yang sudah ada sejak awal diciptakan. Menolak fakta keberagaman itu sama dengan menolak esensi ke-Ilahi-an.

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 23 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun