Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pandemi dan Pesan Simbolik 75 Tahun Indonesia Merdeka

24 Agustus 2020   10:26 Diperbarui: 24 Agustus 2020   10:34 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayangnya, semua dugaan, asumsi, dan teori terkait munculnya makhluk tak kasat mata bernama Covid-19 itu, tidak serta merta memberi ruang leluasa untuk kita bisa menarik suatu benang merah menemukan kebenaran hakiki, apa sesungguhnya yang telah terjadi dan yang sedang melanda bumi ini? Adakah di balik itu tersembunyi sebuah hikmah tentang kehadiran makhluk tak kasat mata sebagai peringatan dan teguran atas kepongahan kita sebagai makhluk yang paling mulia, tapi tak becus menjaga dan merawat bumi ini?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif-kontemplatif seperti ini hendaknya juga hadir di relung hati kita agar bisa memaksa kita untuk merenung dan berpikir. Sejauh mana kita, dalam perspektif agama samawi disebut sebagai makhluk yang paling mulia, tapi pada kondisi faktualnya seakan rapuh dari esensi identitas kemuliaan itu. Kita cenderung abai akan peringatan Tuhan, Allah Ajja wa Jalla, tentang konsekuensi logis bila mengabaikan amanah sebagai khalifatul fil ardi (QS. 2:30).

Sungguh sebagai makhluk yang paling mulia, sebaik-baik makhluk (QS. 95:4) di antara semua makhluk ciptaan-Nya, kita, manusia cenderung menafikkan peringatan Ilahi, tentang kemungkinan derajat kemuliaan kita akan terdegradasi sampai pada titik yang paling rendah (titik nadir), asfala syafiliin (QS 95:5). Bahkan berpotensi serendah-rendah hewan ternak, kal'an aam balhum adallu (QS. 7:179), jika kita berlaku tak sepantasnya sesuai tuntunan dalam menjaga dan merawat bumi dan lingkungan alamnya. 

Sama halnya dengan merawat dan mejaga "kelestarian" negeri kesatuan ini dari anasir-anasir yang kurang merasa bersyukur dan berterima kasih atas "hadiah" terbesar dari para founding father kita berupa negara kesatuan ini. Bangsa merdeka ini dibangun di atas landasan persatuan dari beragam suku bangsa, ethnis, bahasa, adat istiadat, dan agama yang berbeda. 

Sehingga jika ada anasir yang ujug-ujug hadir menawarkan sebuah konsep beraroma uthopis, maka seharusnya disikapi (baca ditolak) secara tegas. Karena bila membiarkan anasir yang seperti ini atas nama kebebasan yang dijamin konstitusi dapat menjadi virus yang memungkinkan menjadi embrio diskriminasi dan dikhotomis yang memisahkan antaranak bangsa, dan berpotensi merusak persatuan dan kesatuan NKRI. 

Menyadari hal itu, sehingga sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah dengan secara apik mengajak setiap elemen bangsa untuk kembali mengingat sekaligus merawat kemerdekaan ini dengan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. 

Bahwa bangsa ini terbentuk dan dibangun atas  beragam ethnis, suku bangsa, adat istiadat, bahasa, dan agama yang berlainan. Karena itu, jika memaksakan sebuah kehendak politik (political will) yang berbasis suatu paham keagamaan tertentu akan dapat menjadi "api dalam sekam", yang sewaktu-waktu dapat membakar negeri ini sehingga hanya tinggal puing-puing yang tak berarti lagi.

Presiden mengenakan pakaian adat daerah tertentu pada momen-momen resmi dan penting, seperti HUT RI ke-75 beberapa hari lalu sebagai isyarat simbolik akan pentingnya menghargai keberagaman yang menghiasi negeri zamrud khatulistiwa yang harus terus dipelihara dan dijaga. Hal itu seolah memberi "warning", bahwa upaya penyeragaman atas alas keagamaan seakan menolak kebesaran Ilahi. Mengingat, keberagaman juga merupakan sunnatullah (QS. 49:13), sesuatu yang sudah ada sejak awal diciptakan. Menolak fakta keberagaman itu sama dengan menolak esensi ke-Ilahi-an.

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 23 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun