Belakangan kondisi Nenek semakin buruk. Tubuhnya mengurus sampai terlihat seperti tengkorak hidup, padahal porsi makannya tinggi. Kulitnya sangat kering dan mudah terkelupas jika menggesek benda apapun. Aroma tidak sedap keluar dari tubuhnya---bukan seperti aroma orang tua pada umumnya, tapi seperti bau kotoran atau bangkai busuk---meski sudah dimandikan secara rutin dan diberikan wewangian. Kutu-kutu mulai bermunculan di rambutnya yang keriting dan mulai rontok.
Tidak hanya secara fisik, tapi mentalnya juga memburuk. Nenek sering berteriak histeris, sampai menggedor dan mendobrak pintu maupun jendela. Beberapa kesempatan, Nenek terlihat suka berbicara sendiri di dalam kamar maupun di ruang tamu, seolah sedang berkomunikasi dengan sosok tak kasat mata. Apabila malam sudah tiba, kondisinya makin menjadi-jadi, sampai membuat seisi rumah resah bahkan tidak bisa tidur.
Ricky, cucunya, menjadi resah bahkan sampai sulit mengerjakan tugas-tugas kuliahnya saat berada di rumah. Perihal itu berlangsung setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit tanpa jeda. Tak hanya Ricky, Ibu sebagai putrinya, juga merasakan hal serupa---bahkan dia sampai tidak bisa tidur semalaman hanya untuk menenangkan Nenek. Dalam beberapa kesempatan, mereka ingin menemani sekalian mengajak obrol Nenek, tapi dia justru berteriak aneh, berbicara sendiri tanpa menghiraukan lawan bicaranya, mengamuk tidak jelas, bahkan sampai melempar beberapa benda ke arah mereka secara membabi buta. Walau begitu, mereka masih berusaha merawat dan menenangkannya. Sebab sebagai keluarga Tionghoa Katolik, sangatlah wajib merawat orang tua dalam kondisi apapun.
Beberapa kali mereka menyewa asisten rumah tangga untuk merawat Nenek. Namun tidak ada yang tahan sampai sebulan. Malahan ada yang sampai kabur setelah bekerja lima hari. Di tengah kesulitan dan keputusasaan, akhirnya Ibu terpaksa menyewa seorang Suster khusus untuk orang tua, meski biayanya lebih mahal daripada pembantu rumah tangga. Beruntung, Suster ini memiliki kesabaran yang besar, sehingga dia bisa menghadapi segala tingkah lakunya yang impulsif dan terkadang meledak-ledak. Akan tetapi, Suster hanya mampu mengendalikan Nenek saat berada di tempat umum saja. Berbeda ketika di rumah, dimana Nenek lebih sulit terkendali sehingga Suster tetap kewalahan setengah mati.
Upayanya ini dilakukan karena mereka memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak mampu mengawasi atau menjaganya selama seharian penuh. Ricky masih kuliah dan hendak menyiapkan diri untuk skripsi. Ibu masih kerja kantoran, dan dia cukup sibuk. Terlebih mereka hanya tinggal berdua. Ayah telah tiada sejak Ricky SMA, sehingga Kakek mengambil alih perannya---setidaknya sampai tahun pertama kuliah; Kakek meninggal dunia, dan mereka membawa Nenek untuk tinggal bersama. Semenjak itulah kondisi Nenek mulai berubah secara perlahan-lahan.
Beberapa kali mereka sempat membawa Nenek ke dokter, karena kondisi fisiknya sangat memprihatinkan. Tetapi anehnya, semua dokter yang memeriksa kondisi Nenek, mereka tidak menemukan penyakit serius. Dari pengecekan darah, jantung, paru-paru, pencernaan, serta sebagainya semua tampak sehat dan normal secara ilmu medis. Hal ini membuat Ricky dan Ibu makin bingung.
****
Di waktu senggang, Ricky suka menghibur diri dengan bermain bersama Burung Hantu peninggalan Ayah---yang dibeli saat masih bayi saat dinas terakhirnya di Jawa Tengah---yang diletakan di dalam sebuah kandang besar di teras rumah, dekat sisi kiri pintu utama. Itulah adalah satu-satunya binatang peliharaan sekaligus teman dekat Ricky di rumah. Burung Hantu itu tidak seperti burung hantu pada umumnya yang besar dan tampak menyeramkan; dia berukuran kecil yang memiliki tampang menggemaskan dan suka bertingkah manja seperti kucing setiap berinteraksi dengan Ricky. Suara kicauannya di malam hari terdengar sangat meneduhkan dan mengisi suasana hati Ricky yang muram. Berbeda dengan Ricky, Ibu memiliki pandangan yang negatif terhadap Burung Hantu, karena kepercayaannya terhadap mitos. Baginya Burung Hantu adalah binatang yang mengundang petaka, duka, bahkan makhluk halus. Ibu curiga bahwa Burung Hantu sebagai penyebab kematian Ayah dan perubahan dari sikap Nenek. Tetapi Ibu terlalu sungkan untuk mengatakannya, karena dia tahu betapa sayangnya Ricky terhadap Burung Hantu itu.
Sampai pada suatu hari, Ibu curhat kepada keponakannya, Tante Inaya, tentang kondisi Nenek sekaligus kecurigaannya terhadap eksistensi Burung Hantu di rumahnya. Tante Inaya langsung menduga bahwa kasus yang dialami Nenek ada sangkut paut dengan hal supernatural maupun metafisika. Dia menasehati Ibu agar kandang Burung Hantu tidak ditaruh di teras rumah, meski tidak dijelaskan secara spesifik. Dia lantas menyarankan agar Ibu memanggil rohaniwan untuk membersihkan Nenek dari kuasa jahat, sekaligus melakukan sakramen perminyakan.
Ibu setuju dan ingin menghubungi Romo Matias Laga Gheta, karena dia kenal dengannya. Apalagi Romo Matias memimpin misa tutup peti Kakek, sekaligus memimpin ibadah pemberkatan rumahnya. Tetapi Tante Inaya menyodorkan nama Frater Damianus Talo Mau, seorang frater muda dari Nusa Tenggara Barat---provinsi yang sama dengan asal Romo Matias---yang dikenal memiliki indera keenam.