Bisnis teh artisan memang sedang naik daun. Banyak yang melihatnya sebagai peluang segar, apalagi proses pengolahannya memberi ruang untuk sentuhan personal.
Teh jenis ini bahkan kerap disebut sebagai primadona baru. Tetap saja, jalan menuju sukses tidak selalu mulus. Tantangannya nyata, dari kebun sampai ke tangan konsumen.
Banyak pendatang baru terpikat contoh sukses dari luar negeri. Mereka menatap merek teh berkelas dengan gerai yang elegan dan ingin menirunya.
Godaan itu kuat, tapi strateginya berisiko besar. Membangun citra mewah butuh modal yang tidak kecil.
Dekorasi gerai mahal, kemasan premium mahal, pemasaran pun menelan biaya besar. Model seperti ini sulit dieksekusi oleh pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia yang sumber dayanya terbatas.
Di sisi lain, pasar dalam negeri punya karakter sendiri. Anak muda Indonesia penasaran dengan teh artisan dan senang mencoba hal baru.
Namun minat belum tentu berbanding lurus dengan kesediaan membeli. Harga masih jadi pertimbangan utama.
Ini fakta yang muncul dalam studi konsumen MarkPlus, 2023. Produk berharga premium cenderung kalah bersaing, apalagi teh artisan tidak berdiri sendirian.
Kopi specialty dan jus sehat, misalnya, ikut berebut ceruk pasar yang sama.
Tantangan yang paling besar justru datang dari hulu. Masalahnya dimulai di kebun. Lahan teh di Indonesia menyusut dari waktu ke waktu.
Data Badan Pusat Statistik mengonfirmasi penurunan luas areal kebun teh setiap tahun (BPS, 2023). Dampaknya jelas, pasokan bahan baku terancam.