"Segala yang Diisap Langit”, Refleksi Tradisi dan Perubahan
“Pergulatan manusia di tengah ombak perubahan zaman, tak ada yang tahu ujung jalan yang kita pilih.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-80, suasana nasional dipenuhi refleksi atas sejarah dan budaya bangsa. Di tengah momentum ini, novel Segala yang Diisap Langit karya Pinto Anugrah hadir sebagai karya sastra yang menelisik akar budaya dan pergolakan zaman di Minangkabau.
Dengan latar zaman kejayaan dan kejatuhan bangsawan Minangkabau, novel ini kaya akan nilai dan simbol yang menghubungkan sejarah lokal dengan isu universal tentang identitas dan ketahanan budaya. Relevansi kisah ini terasa kuat di era modern, ketika tradisi dan perubahan sering beradu.
Saya mengapresiasi konsistensi Pinto Anugrah mengangkat tema sejarah dan sosial dalam karyanya. Novel ini menyuguhkan perspektif segar dan bermakna, sekaligus menjadi bahan renungan penting tentang pergulatan adat dan iman dalam konteks zaman yang terus berubah.
Sinopsis Novel Segala yang Diisap Langit
Segala yang Diisap Langit menceritakan perjalanan Rabiah, seorang perempuan pemberani dari keluarga bangsawan Minangkabau, yang bertekad mematahkan mitos bahwa garis keturunan bangsawan akan terputus pada generasi ketujuh. Berjuang keras untuk memperoleh keturunan perempuan yang akan meneruskan garis keluarga, Rabiah bahkan rela menjadi istri kelima seorang lelaki ternama yang diyakini mampu memberikan anak perempuan.
Konflik utama muncul ketika saudara laki-laki kesayangan Rabiah, Magek, menjadi penghalang terbesar. Setelah bergabung dengan Kaum Padri, Magek membawa ideologi baru yang keras, menentang adat lama dan nilai-nilai keluarga. Pertentangan ini memuncak dalam pembantaian yang menghancurkan harta, adat, dan masa lalu Rabiah, yang juga menjadi simbol hancurnya kejayaan bangsawan di era itu.